Saturday, March 24, 2012

Ubah Peluru Jadi Perhiasan Mewah

Meski masih muda, Lovetta Conto mampu membuat perhiasan yang disukai para artis Hollywood, seperti Angelina Jolie dan Halle Berry. Padahal, remaja berusia 17 tahun itu bukanlah penggemar produk fesyen Hollywood.

lovettaKehidupannya pun jauh dari glamor dan pengaruh Hollywood. Conto justru tumbuh besar di kamp pengungsi Ghana. Pengalaman pahit hidup di masa perang sipil di Liberia, menginspirasi Conto membuat perhiasan dari selongsong peluru.

Peluru-peluru itu juga dikumpulkannya pada masa perang sipil. Gadis remaja yang dilahirkan di Liberia, sebuah negara di Pantai Timur Afrika itu terpisah dari ibunya pada usia 18 bulan. Sementara itu, ayahnya melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari perang sipil .Ketika berusia lima tahun, dia mulai membuat kerajinan peluru itu di kamp pengungsi di Ghana. Kreativitas itu terus digelutinya selama sembilan tahun kemudian. Ketika itu, dia tinggal bersama 47.000 pengungsi lainnya. “Saya mengungsi ke Ghana dan meninggalkan ibu saya. Kami berpikir kita lebih merasa aman di Ghana karena negara kita sedang porak-poranda,” papar Conto kepada CNN.
“Saya merasa sendiri karena saya berada di negara lain di mana saya tidak disambut baik. Saya selalu ingin kembali ke negara saya.Namun,Anda tidak memiliki pilihan lain karena negara Anda berada dalam kondisi perang sipil,” paparnya.

Conto mengungkapkan, ayahnya meninggalkannya bersama keluarganya untuk bekerja agar bisa membiayai sekolah anak-anaknya. “Tapi, saya tidak mampu bersekolah karena ayah tak dapat membiayai ongkos sekolah. Akhirnya, saya hanya tinggal di rumah,” bebernya.

Hingga pada tahun 2005, seorang warga Amerika Cori Stern mengunjungi kamp pengungsian. Stern merupakan pendiri Strongheart Fellowship, sebuah organisasi yang berdedikasi membantu anak-anak muda yang menjadi korban konflik. Ketika bertemu dengan Stern, Conto berusia 12 tahun. Saat itu, Stern pun berpikir bagaimana agar bisa membuat Conto keluar dari kamp pengungsi.

Stern membantu Conto mendapatkan visa Amerika Serikat (AS). Setelah mendapat visa Amerika Serikat (AS), pada usia 14 tahun, Conto meninggalkan ayahnya di Ghana menuju AS. “Strongheart mengajarkan saya dapat melakukan apapun, jika saya mampu berpikir dan menjadi apapun yang saya inginkan,” ujarnya. “

Strongheart juga mengajarkan saya untuk mengekspresikan perasaan saya dan bagaimana mendapatkan sesuatu yang baik dalam kehidupan ini,”ungkapnya. Sejak saat itu, Conto pun bercita- cita ingin menjadi desainer pakaian. Cita-cita itu diwujudkan dengan membuat perhiasan sebagai bentuk proyek Strongheart. Proyek itu dikaitkan sebagai bentuk refleksi tentang apa yang terjadi dalam kehidupan di sekitar Conto, termasuk kreativitasnya membuat perhiasan dari peluru selama perang sipil Liberia.

“Saya ingin menjaga memori semua orang tetap hidup semua yang saya lakukan ini untuk membantu korban perang, terutama anak-anak yang ditinggal orang tuanya,”tandasnya.
Desain-desain perhiasannya pun sarat makna. Salah satunya adalah perhiasan bertuliskan “life” yang berarti kehidupan baru muncul meski dari situasi yang sulit. Selain itu, Conto juga menciptakan desain perhiasan dari peluru bertuliskan “Akawelle” yang artinya “semua mengenal cinta”. “Suatu hari, saya ingin mendesain pakaian atau membuat orang tampil lebih cantik,” ungkapnya. (CNN)

Tuesday, March 20, 2012

Christian Owens, Remaja Pendiri Jejaring Iklan

Christian-Owens-100x150
Apa yang Anda telah capai saat berusia 15 tahun sebagai seorang individu? Meraih nilai bagus di kelas? Atau bersenang-senang dan menikmati masa remaja bersama teman dekat Anda? Tengoklah prestasi seorang remaja kelahiran Inggris ini dan Anda akan dibuat malu dengan jawaban Anda.
Seorang remaja berusia 15 tahun bernama Christian Owens - pendiri jejaring iklan online Branchr - dinobatkan oleh The Daily Mail secara resmi menjadi Enterprising Young Brit untuk tahun 2010. Penghargaan tersebut secara rutin diberikan setiap tahun kepada para remaja kaya yang berhasil merintis usaha di Inggris Raya.

Sang penentang mitos yang berpikiran sederhana
Jika Anda mengira anak muda ini adalah seorang anak yang tumbuh dari kedua orang tua yang juga seorang entrepreneur, Anda salah besar. Orang selalu berpikir jika lingkungan dan faktor genetis berperan dalam pembentukan seorang entrepreneur. Untuk kasus Owens, anggapan itu terbantahkan. Ayah dan ibu biologis Owens masing-masing bekerja di pabrik dan lingkungan kantor.

Owens mendirikan Branchr pada Januari 2009 dan sejak saat itu Branchr telah berkembang pesat dan bahkan telah berhasil membujuk salah satu raksasa jejaring sosial -MySpace- untuk menjadi advertiser. Branchr memberikan alternatif kepada usaha kecil dan menengah yang ingin beriklan tetapi karena beberapa faktor tidak mampu untuk beriklan dengan bantuan perusahaan besar seperti Google. Layaknya Google AdSense, Branchr juga menggunakan platform iklan PPC (pay-per-click). Sederhananya, Anda akan dibayar jika seorang pengunjung meng-klik iklan yang ada.

Pendirian Branchr, papar Owens, dilatarbelakangi oleh rumitnya jejaring iklan masa kini seperti Google dan MSN. Remaja berkacamata ini memikirkan tentang sesuatu yang dapat memecah kerumitan yang dianggapnya tidak perlu tersebut. Kemudian terdoronglah ia untuk membuat sebuah platform yang lebih sederhana dan tidak membingungkan seperti yang sudah ada.

Kisah sukses Owens dapat kita ambil pelajaran penting. Terdapat tiga poin penting yang ingin Owens sampaikan pada sesama pemula terutama remaja yang hendak membangun usaha mereka sendiri.


1. Berapa pun umur Anda, jika Anda memiliki ide usaha dan merasa sangat bergairah untuk memulai, lakukanlah.

2. Tidak ada yang gratis. Anda harus bekerja keras untuk setiap hal yang Anda inginkan.

3. Jika Anda ingin melakukan suatu pekerjaan, kerjakanlah dengan sebaik-baiknya.

Saturday, March 17, 2012

Buka Kafe untuk Tempat Nongkrong

 cafeeee
Apapun latar belakang dan tingkat pendidikan seseorang, asal punya kemauan, pasti bisa memiliki usaha sendiri. Pasalnya, menjadi entrepreneur tak mensyaratkan tingkat pendidikan khusus, sehingga untuk memulainya dapat dilakukan kapan saja dan oleh siapa saja, tak terkecuali mahasiswa.

Banyak peluang usaha bisa digarap mereka yang masih duduk di perguruan tinggi dengan bermacam alasan yang melatarbelakanginya. Asteria Danik Wulansari misalnya. Mahasiswi Stifar Pucang Gading tersebut membuka Kafe Cushion bersama teman-temannya berawal dari kegemarannya nongkrong.

Menurut dia, daripada hanya nongkrong dan menghabiskan uang, akhirnya mencoba membuka kafe sendiri. “Sekarang kami seperti pindah tempat nongrong saja, sebelumnya di kafe lain, sekarang di kafe sendiri. Jadi kami tetap bisa nongkrong sekaligus menghasilkan uang,” tuturnya gadis yang baru berusia 21 tahun itu.

Kafe yang ada di Jalan Kelud Raya tersebut memakai konsep coffe, furniture, and fashion. Karena pada kafe tersebut, selain menjual makanan dan minuman, juga menjual furnitur dan fashion. Fashion yang ditawarkan khusus baju second hand untuk kaum lelaki, mengingat pengunjungnya kebanyakan lelaki.

Bisa memperoleh penghasilan sendiri saat masih duduk di bangku kuliah memang membanggakan, Bahkan, dia bertekad untuk mengembangkan bisnisnya setelah menyelesaikan pendidikan sarjananya. “Memiliki usaha sendiri menyenangkan, dan ada kepuasan diri. Karena kita bisa memperoleh penghasilan bukan dari suatu institusi lain, tapi dari usaha sendiri,” katanya.

Tuesday, March 13, 2012

Diane Keng, Jadi Entrepreneur Sejak Remaja

Tak harus menanti sampai lulus sekolah untuk menjadi entrepreneur. Contohnya, seorang remaja di Amerika Serikat (AS) bernama Diane Keng.

Diane_KengPengalaman membuktikan, dia bisa merintis jalan sebagai pengusaha kendati masih duduk di bangku SMA. Diane masih berumur 18 tahun, saat bersama kakaknya sukses meluncurkan laman MyWeboo.com Maret tahun lalu.

Laman itu berguna membantu sesama remaja mengatur laman-laman favorit, termasuk situs jejaring sosial, ke dalam satu wadah. Pada pameran Web 2.0 Expo di San Fransisco awal pekan ini, Diane memamerkan MyWeboo sekaligus berupaya menarik minat para investor untuk menanamkan modal mereka guna mengembangkan jaringan laman itu.

Layaknya seorang profesional, Diane sudah pintar mengatur waktu. Setiap pagi, gadis yang tercatat sebagai murid SMA Monta Vista di Kota Cupertino, negara bagian California, sibuk dengan berbagai pelajaran, termasuk kelas ekstra ilmu ekonomi terapan dan pemerintahan. Sore hari, Diane menjaga kebugaran dengan berlatih badminton.

"Usia, gender, dan minim pengalaman tidak membuat saya gentar untuk mengelola perusahaan," kata Diane seperti dikutip laman harian The Wall Street Journal.

Bersama kakaknya, Steven (25), Diane berstatus sebagai pendiri (founder) MyWeboo. Dalam jabatan struktural, Steven berposisi sebagai Kepala Eksekutif Korporat (CEO), sedangkan Diane adalah Direktur Pemasaran (Marketing).

Dua bersaudara itu beruntung memiliki ayah yang berprofesi sebagai pebisnis investasi - yang rutin bolak-balik antara Beijing (China) dan Cupertino. Oleh ayahnya, Diane dan Steven diberi modal awal US$100.000.

Diane mengaku bahwa MyWeboo merupakan bisnisnya yang ketiga. Kali pertama dia berbisnis ketika masih berusia 15 tahun. Saat itu dia menggarap usaha sablon kaos.

Merasa tidak mendapat untung yang sepadan, Diane meninggalkan usaha sablon kaos dan mencoba mendirikan firma konsultan pemasaran produk remaja. Namun bisnis yang satu ini membuat Diane sulit membagi waktu untuk belajar dan bergaul. Maka, sejak Maret lalu dia bersama kakaknya mencoba peruntungan di bisnis jasa internet.

Diane pun beruntung tinggal dan bersekolah di lingkungan yang masuk dalam wilayah "Lembah Silikon" (Silicon Valley). Kawasan ini dikenal sebagai pusat produksi barang-barang berteknologi canggih dan sudah pasti banyak orang pintar yang tinggal dan bekerja di wilayah itu.

Silicon Valley pun dikenal sebagai penghasil sejumlah wiraswastawan belia. Salah satunya adalah Gurbaksh Chahal, yang membuka bisnis online di bidang iklan, Click Agents, saat masih berusia 16 tahun.

Dua tahun kemudian Chahal menjual perusahaannya senilai US$40 juta sebelum akhirnya membuka laman iklan baru, BlueLithium. Laman baru itu pun dia jual seharga US$300 juta ketika usia Chahal baru 25 tahun.

Lembah Silikon juga menghasilkan Kristopher Tate, yang di usia 16 tahun meluncurkan laman berbagi foto, Zooomr. Kini, di usia 22 tahun, Tate menjalankan sebuah perusahaan portofolio berbasis internet dari Tokyo.

Namun, para remaja pebisnis itu tidak langsung mereguk kesuksesan. "Selama dua tahun pertama mengelola Click Agents, saya mengorbankan masa muda," kata Chahal. Dia pun terpaksa drop-out dari sekolah untuk berkonsentrasi pada bisnisnya. "Saya tidur dan bekerja di kantor," lanjut Chahal. (VIVANews)

Saturday, March 10, 2012

Peter Burns, Sukses Sejak Berumur 19 Tahun

Pernahkah Anda mendengar nama Peter Burns? Dia adalah salah satu pengusaha yang hebat. Bagaimana tidak? Pria bersahaja ini telah membangun kerajaan bisnisnya sejak berusia 19 tahun. Saat ini, selain menjadi pengusaha, Peter Burns juga menjadi pengajar di Barret Honors College, Universitas Negeri Arizona.

Kisah Peter Burns adalah salah satu kisah keberhasilan yang inspiratif. Banyak orang berpikir bahwa Anda harus mempunyai gelar agar bisa sukses. Mereka juga tidak sadar bahwa Bill Gates drop out dari universitasnya.

Tapi, tentu saja pendidikan itu sangat penting untuk perkembangan seseorang. Orang bisa mendapat pekerjaan dengan gaji yang tinggi dengan gelar yang dimiliki. Namun, ada suatu saat di mana seseorang harus memilih. Mengorbankan pekerjaan ‘aman’nya atau maju terus sesuai keinginan dan idenya.

Di negara ini, kata karyawan atau pegawai sering kali berarti dibayar rendah, bekerja berlebihan, dan bekerja untuk seseorang yang tidak lebih pandai.

Parahnya lagi, sekitar kita, ada cukup banyak orang dengan gelar berjajar tapi tidak mempunyai pekerjaan, atau pekerjaannya tidak cukup baik.

Tapi hal itu tak terjadi pada Peter Burns. Dia menemukan entrepreneurship ketika dia berada pada tahun pertama kuliah. Dia mempelajari entrepreneurship di Universitas Virginia.

Awalnya, Peter mendapat dorongan dari dosennya untuk merealisasikan rencana bisnis yang dia buat semasa kuliah. Peter lalu mencoba menyewakan sepeda motor pada turis-turis di US vacation spots. Pada bulan keempatnya selama libur musim panas, Peter Burns mendapatkan US$50.000.

Saat itu, Peter bisa mendapatkan uang dengan melakukan apa yang dia sukai. Apa lagi yang bisa didapatkan oleh anak yang baru berusia 19 tahun?

Lebih jauh lagi, Peter kemudian mengembangkan bisnisnya dengan membuat franchise. Karena usahanya sejak muda itu, Peter memberi inspirasi bagi para pemuda untuk menjadi bos bagi diri mereka sendiri. (*/ dari berbagai sumber)

Tuesday, March 6, 2012

Menggapai Sukses dari Kamar Tidur


Dunia bisnis mulai dikuasai anak muda. Itu dibuktikan oleh Benedict T. Casnocha, seorang pengusaha muda asal Amerika Serikat (AS). Usianya baru menginjak 18 tahun, namunnya idenya sungguh luar biasa. Di usianya sangat muda, dia telah memiliki perusahaan sendiri Comcate, sebuah bisnis yang menyediakan piranti lunak.

Inspirasi untuk mendirikan Comcate diperolehnya, ketika Ben Casnocha, panggilan akrabnya, berusia 12 tahun. Di usia yang masih belia itu, dia telah berpikir di luar kebiasaan anak-anak seusianya. Ketika itu, dia memiliki ambisis untuk menjadi pengusaha. “Saya ingin mengubah dunia dengan cara saya sendiri,” ujarnya kepada majalah Business Week.

Hingga pada 2001, Casnocha mulai memberani diri untuk menuangkan idenya menjadi seorang pengusaha. Dia mulai mendirikan Comcate, sebuah perusahaan penyedia piranti lunak yang secara ekslusif meningkatkan operasional pada institusi pemerintah dan badan organisasi kemasyarakat. Awalnya, dia mulai mendirikan Comcate dari kamar tidurnya.

Sejauh ini, Comcate telah memiliki 50 institusi pemerintah di seluruh AS yang menjadi langganan. Mereka menginstal piranti lunak berbasis internet untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan efesiensi kantor. “Saat ini, Comcate fokus kepada satu hal, yaitu pertumbuhan,” ujarnya.

Targetnya tidak terlalu tinggi. Casnocha mengungkapkan, targetnya pada 2010, Comcate harus memiliki 300 institusi pemerintah. Saat ini, pendapatan Comcate berkisar USD1 juta, dan pada 2010 diprediksi akan mencapai USD6 juta.

Salah satu bukunya yang paling populer adalah “My Start-Up Life: What a (Very) Young CEO Learned on His Journey Through Silicon Valley.” Buku itu menceritakan tentang bagaimana cara memulai bisnis berdasarkan pengalamannnya. The New York Times memuji buku tersebut sebagai buku yang sangat instruktif dan menghibur.

Ketika teman-teman SMA-nya sibuk kencan bersama kekasih dan memuaskan masa muda Casnocha justru sibuk mengurus bisnisnya. Dia akan lulus SMA pada Juni mendatang. Selama menempuh pendidikan SMA, dia juga menjadi kapten tim basket, dan editor majalah sekolah.

“Kadang, saya harus membedakan antara Ben ketika menjadi anak muda, dan Ben ketika sebagai seorang pengusaha,” tuturnya sambil tertawa. Selanjutnya, dunia kuliah pun tidak ditinggalkannya, dia memutuskan untuk menempuh pendidikan di Claremont McKenna College di California, AS, pada tahun ajaran depan.

Meskipun telah menjadi pengusaha sukses, gaya berpakaian dan tingkah lakunya seperti anak muda. Namun tanggungjawabnya seperti orang dewasa. Dia mampu menunjukkan kebijaksanaan ketika memimpin rapat dan mengarahkan anak buahnya yang berusia lebih dewasa.

Dia membangun fondasi bagi masa depannya unuk menjadi eksekutif bisnis teknologi informasi, pengusaha sukses, dan miliader di masa depan. Tak ayal, walaupun umurnya masih belasan tahun, nama Casnocha pun tetap bergaung di Silicon Valley, pusat bisnis teknologi informasi.

Casnocha juga berulangkali bertemu dengan para pengusaha papan atas. Dia pernah sarapan pagi bersama Marc Benioff, CEO Salesforce.com. Selain itu, banyak pengusaha properti dan pejabat pemerintah yang sering mengajak diskusi mengenai isu teknologi dan perkembangan bisnisnya. “Pertemuan-pertemuan dengan para pengusaha senior itu merupakan sesuatu yang ‘gila’,” ujarnya kepada USA Today.

Pada 2007, Casnocha menghadirikan konferensei pemimpin muda sedunia di Zermatt, Swiss. Dia datang bersama dengan Benioff, 41. “Dia (Casnocha) merupakan anak yang beda dan memiliki potensi yang sangat berkembang,” ujar Benioff. “Saya akan membantunya, dan sarapan pagi dengannya kapan pun dia mau,” janjinya.

Berbagai komentar pun meluncur dari pengusaha yang pernah bertemu dengan Casnocha. Greg Prow, pengusaha dan eksekutif papan atas di AS, mengungkapkan sangat asyik berdiskusi dengan Casnocha. “Sangat jarang, Anda duduk dengan anak berusia belasan tahun kan? Bayangkan saja, dia (Casnocha) bercerita tentang rencananya mengubah dunia,” ujarnya.

Berdasarkan catatan Yayasan Ewing Marion Kauffman, sebuah lembaga nirlaba yang bekerjasama dengan para pengusaha muda, menyatakan bahwa terdapat banyak anak belasan tahun yang menjalankan bisnis. Menurut mereka, Casnocha merupakan salah satunya.

Sedangkan menurut Steve Mariotti, presiden Yayasan Nasioanl untuk Pendidikan Kewirausahaan, kemajuan teknologi, seperti internert memberikan kesempatan bagi anak belasan tahun untuk mengembangkan bisnis.

Sementara menurut ayah Casnocha, David yang juga pengacara di dewan direksi Comcate, mengaku putranya itu termasuk pemberani dan genius. Dia mengungkapkan, putranya memulai ide bisnisnya pada usia 7 tahun, dan mulai membuat desain web pada usia 11 tahun. Comcate dimulai saat Canocha berada dari kelas enam sekolah dasar.

Dalam menjalankan bisnisnya, Casnocha pun melaksanakan dengan serius. Dia pun merekrut para profesional muda. Dia pun menunjuk Dave Richmond menjadi pimpinan harian Comcate. “Mereka benar-benar serius,” Dave Richmond, yang diwawancari oleh Casnicha langsung ketika berusia 14 tahun. Meskipun Richmond merupakan “guru” bagi Casnocha, hubungan mereka tetap profesional.

Bagaimana dengan aktivitas keseharian Casnocha? Dia bangun tidur sekitar pukul 6.30 pagi. Setelah itu, dia langsung membaca puluhan email mengenai bisnisnya dan memonitor situs dan blog.

Di waktu luang, dia menuliskan pengalaman dan pemikirannya mengenai bisninya untuk dijadikan sebuah buku. Dalam blog pribadinya, bigben.blogs.com, dia juga berbagai cerita mengenai trik dan tip dalam berbisnis. Selain itu, waktu luangnya juga digunakannya untuk membaca buku. Dalam kurun waktu 16 bulan, dia telah melahap 120 buku. Dia ingin membaca 4.200 dalam kurun waktu 60 tahun mendatang. “Saya hanya titik paling kecil di dalam peta besar sejarah manusia,” paparnya. (Sindo)

Saturday, March 3, 2012

Raja Game dari Inggris

Dylan Wilk memulai bisnis saat berusia 20 tahun. Bisnisnya pun dinilai tidak prospektif lantaran hanya menjual gamekomputer melalui email. Siapa mengira kini Wilk telah menjadi miliarder di Inggris?

Dylan_Wilk-kredit-marcopalmeroDari rumah Wilk menjalankan usaha secara sederhana. Tapi hambatan tetap saja dia alami. Ketika mulai berbisnis pada 1994 Wilk kesulitan mendapatkan pinjaman dari bank. Bank menganggap usia Wilk ketika itu sangat muda.

Dengan paradigma konvensional, para manajer kredit menolak usulan kredit yang diajukan Wilk. Lantaran kecewa pada perbankan, Wilk pun mengajukan pinjaman ke the Prince’s Trust, sebuah lembaga keuangan. Mereka pun memberikan pinjaman senilai 2.500 poundsterling.

Dengan modal tersebut Wilk menjalankan bisnis sederhana dan melakukan penghematan di segala bidang. Demi menjalin hubungan dengan investor, Wilk mengandalkan kontak via telepon. Dia juga menjamin seluruh pemasok game komputer untuk menjadi mitranya. Nama bisnisnya pun dikumandangkan, Gameplay.

Dia menawarkan harga yang sangat kompetitif sehingga dapat bersaing dengan perusahaan lain. Di seluruh pojok rumah Wilk dipenuhi kardus game komputer. Lebih dari satu tahun Wilk menjalankan bisnis dari rumahnya. Karyawannya pun hanya ibunya sendiri yang rela membantu dengan penuh kasih sayang.

Wilk dikenal sebagai pengusaha ulet. Ketegaran dan kesabaran mampu menyelamatkannya ketika Gameplay menghadapi gugatan di pengadilan. Dia menang dalam kasus tersebut. Namanya pun melambung. Hingga pada Agustus 1999 Gameplay masuk bursa saham dan meraih 88 juta poundsterling. Ketika berusia 29 tahun, 4 juta poundsterling masuk ke kantong pribadi Wilk.

Pria yang keluar dari sekolah menengah pada usia 16 tahun itu memiliki ambisi yang tidak muluk-muluk. ”Saya menginginkan sebuah keluarga. Ketika saya memiliki waktu bagi mereka, saya akan fokus pada keluarga,” katanya dikutip dari Guardian.

Kendati demikian Wilk sadar, kebahagiaan bukan diukur dari materi semata, uang di bank, dan kesempatan bisnis yang terbuka lebar. Kebahagiaan ternyata diartikulasikan secara nyata oleh Wilk dalam bentuk membantu sesama.

Dia membantu masyarakat miskin di Filipina dengan mendirikan rumah bagi mereka. Sebagai bentuk kepedulian, dia menjual mobil mewahnya demi pembangunan 80 rumah. ”Saya membantu orang miskin karena saya ingat bahwa saya dilahirkan sebagai orang miskin,” paparnya. (Sindo)

Thursday, March 1, 2012

Kisah Pebisnis Legal Pertama di China

Tiga puluh satu tahun lalu, Zhang Hua Mei menjadi warga China pertama yang meraih izin berbisnis dari rezim komunis yang berkuasa. Dari izin tersebut, dia pun disebut sebagai pengusaha pertama yang legal di China.
Tiga puluh satu tahun lalu, Zhang Hua Mei menjadi warga China pertama yang meraih izin berbisnis dari rezim komunis yang berkuasa. Dari izin tersebut, dia pun disebut sebagai pengusaha pertama yang legal di China.

“Dulu, Pemerintah China tidak mengizinkan kita untuk berbisnis. Di sini di Wenzhou, China, kantor pemerintah akan bertindak keras untuk menutup perusahaan atau bisnis yang ilegal,”katanya kepada BBC. “Saya harus berhati-hati!” ujar Zhang. Setelah kesuksesan Zhang meraih izin, pada 1980-an sekitar 1.843 pebisnis mendapatkan hak yang sama dari Pemerintah China.

Kini, puluhan juta orang China mendapatkan akses bisnis dengan mudah. Harus diakui,jika dulu Zhang tidak mengajukan izin berbisnis, ekonomi China tidak akan bangkit seperti sekarang ini. Media-media pun menyebut Zhang sebagai pelopor pengusaha legal di China. Zhang mengajukan izin untuk mendirikan bisnis saat menginjak usia 19 tahun. Tepat 30 November 1979, dia memperoleh izin resmi berdagang. Ketika itu,Pemerintah China mengeluarkan kebijakan reformasi dan keterbukaan pada 1978. Dengan izin di tangan, dia tidak takut polisi dan militer berseliweran di depan rumahnya. Maklum, dia tinggal di negara komunis di mana kebebasan dan kemerdekaan berpendapat sangat dikekang.

“Awalnya, saya tidak mengetahui bahwa saya merupakan orang yang pertama kali mendapatkan izin bisnis di China hingga kemudian, pada 2004, ada televisi lokal yang ingin mewawancarai saya,” katanya kepada crienglish. Perempuan yang selalu ramah itu mengungkapkan bahwa dirinya membuka bisnis karena tidak memiliki pilihan lain. Dia mengaku berlatar keluarga miskin dan setelah lulus SMP dia tidak bisa langsung mendapat pekerjaan,sementara teman-temannya bisa bekerja di perusahaan milik pemerintah. Parahnya, Zhang mengaku sempat stres karena tidak mengetahui apa yang harus dilakukan hingga sang ayah menyarankan Zhang untuk membuka bisnis kecil-kecilan. Zhang mengaku usahanya pertama kali adalah menjual jam mainan di jalanan. Awalnya, dia takut dan khawatir pemerintah lokal datang ke rumah dan membubarkan aktivitas dagangnya.

Dari pengalamannya bepergian ke Shanghai untuk membeli mainan, dia kemudian beralih ke bisnis kancing. Dia berpikir semua pakaian membutuhkan kancing dan selama dunia belum kiamat,manusia akan membutuhkan kancing. Nah, tiga puluh satu tahun berikutnya, Zhang menjadi miliarder dari bisnis kancing baju. Dia tidak lagi berposisi sebagai pedagang, tapi mempunyai pabrik sendiri. Kancing baju yang diproduksinya diekspor ke berbagai belahan dunia. Jangan-jangan, kancing baju yang dipakai Anda pun disuplai dari perusahaan aksesori garmen Huamei yang dimiliki Zhang. Kini, Zhang tentu tidak lagi duduk dan menunggu meja yang dipenuhi aneka ragam kancing seperti 30 tahun lalu. Sekarang, dia lebih banyak duduk di belakang meja di kantornya untuk mengatur transaksi bisnis ke berbagai belahan dunia.

Dia pun kerap berpakaian seksi dengan sepatu berhak tinggi di usia yang telah separuh abad. “Saya tidak berpikir akan mengelola perusahaan besar,” paparnya. Melalui perusahaan aksesori garmen Huamie,menurut Zhang, dirinya menghadapi kompetisi setiap hari,mulai dari model kancing, bahan hingga pergeseran pasar. “Semua bisnis masa sulitnya adalah ketika mengawali. Kita harus mengorbankan waktu tidur dan bersenang-senang terlebih dahulu,” paparnya. Nah, kini, kata dia, saatnya bersenang-senang dan menikmati jerih payah dulu. Zhang pribadi mengaku gembira melihat perkembangan bisnis di negaranya.

Ia senang ketika makin banyak kesempatan bagi warga China untuk menciptakan terobosan dalam kehidupan.Baginya, terobosan yang paling tepat adalah membuka ladang usaha, apa pun bentuknya. (Sindo) “Dulu, Pemerintah China tidak mengizinkan kita untuk berbisnis. Di sini di Wenzhou, China, kantor pemerintah akan bertindak keras untuk menutup perusahaan atau bisnis yang ilegal,”katanya kepada BBC. “Saya harus berhati-hati!” ujar Zhang. Setelah kesuksesan Zhang meraih izin, pada 1980-an sekitar 1.843 pebisnis mendapatkan hak yang sama dari Pemerintah China.

Kini, puluhan juta orang China mendapatkan akses bisnis dengan mudah. Harus diakui,jika dulu Zhang tidak mengajukan izin berbisnis, ekonomi China tidak akan bangkit seperti sekarang ini. Media-media pun menyebut Zhang sebagai pelopor pengusaha legal di China. Zhang mengajukan izin untuk mendirikan bisnis saat menginjak usia 19 tahun. Tepat 30 November 1979, dia memperoleh izin resmi berdagang. Ketika itu,Pemerintah China mengeluarkan kebijakan reformasi dan keterbukaan pada 1978. Dengan izin di tangan, dia tidak takut polisi dan militer berseliweran di depan rumahnya. Maklum, dia tinggal di negara komunis di mana kebebasan dan kemerdekaan berpendapat sangat dikekang.

“Awalnya, saya tidak mengetahui bahwa saya merupakan orang yang pertama kali mendapatkan izin bisnis di China hingga kemudian, pada 2004, ada televisi lokal yang ingin mewawancarai saya,” katanya kepada crienglish. Perempuan yang selalu ramah itu mengungkapkan bahwa dirinya membuka bisnis karena tidak memiliki pilihan lain. Dia mengaku berlatar keluarga miskin dan setelah lulus SMP dia tidak bisa langsung mendapat pekerjaan,sementara teman-temannya bisa bekerja di perusahaan milik pemerintah. Parahnya, Zhang mengaku sempat stres karena tidak mengetahui apa yang harus dilakukan hingga sang ayah menyarankan Zhang untuk membuka bisnis kecil-kecilan. Zhang mengaku usahanya pertama kali adalah menjual jam mainan di jalanan. Awalnya, dia takut dan khawatir pemerintah lokal datang ke rumah dan membubarkan aktivitas dagangnya.

Dari pengalamannya bepergian ke Shanghai untuk membeli mainan, dia kemudian beralih ke bisnis kancing. Dia berpikir semua pakaian membutuhkan kancing dan selama dunia belum kiamat,manusia akan membutuhkan kancing. Nah, tiga puluh satu tahun berikutnya, Zhang menjadi miliarder dari bisnis kancing baju. Dia tidak lagi berposisi sebagai pedagang, tapi mempunyai pabrik sendiri. Kancing baju yang diproduksinya diekspor ke berbagai belahan dunia. Jangan-jangan, kancing baju yang dipakai Anda pun disuplai dari perusahaan aksesori garmen Huamei yang dimiliki Zhang. Kini, Zhang tentu tidak lagi duduk dan menunggu meja yang dipenuhi aneka ragam kancing seperti 30 tahun lalu. Sekarang, dia lebih banyak duduk di belakang meja di kantornya untuk mengatur transaksi bisnis ke berbagai belahan dunia.

Dia pun kerap berpakaian seksi dengan sepatu berhak tinggi di usia yang telah separuh abad. “Saya tidak berpikir akan mengelola perusahaan besar,” paparnya. Melalui perusahaan aksesori garmen Huamie,menurut Zhang, dirinya menghadapi kompetisi setiap hari,mulai dari model kancing, bahan hingga pergeseran pasar. “Semua bisnis masa sulitnya adalah ketika mengawali. Kita harus mengorbankan waktu tidur dan bersenang-senang terlebih dahulu,” paparnya. Nah, kini, kata dia, saatnya bersenang-senang dan menikmati jerih payah dulu. Zhang pribadi mengaku gembira melihat perkembangan bisnis di negaranya.

Ia senang ketika makin banyak kesempatan bagi warga China untuk menciptakan terobosan dalam kehidupan.Baginya, terobosan yang paling tepat adalah membuka ladang usaha, apa pun bentuknya. (Sindo)