Wednesday, March 18, 2015

Seniman Latte Art 3D







Pengusaha Kopi Sekaligus Seniman Latte Art 3D

Sepasang tangan dengan cekatan mengambil peralatan yang dibutuhkan. Tangan kiri memegang lap, tangan kanan menyiapkan sendok dan cangkir. Saling beradu dan bekerja sama menggoreskan bentuk di atas dataran kopi panas dalam sebuah cangkir.
Satu menit, sepasang mata pemilik tangan itu masih terlihat fokus. Gerakan tangannya lincah. Keningnya berkerut. Dia lalu menuangkan segelas silky milk yang sudah diubah dalam bentuk foam. Sekitar lima menit, bentuk 3D yang diciptakan mulai tampak. Ada kucing, panda, dan Gunung Merapi.
Goresan tangan di atas secangkir kopi itu dikenal dengan latte art 3D. Dilihat dari keahliannya, sangat mungkin kehidupan orang tersebut tidak jauh-jauh dari kopi. Kalau tidak hobi minum kopi, ya punya usaha terkait kopi. Yohan Suryanto menyandang keduanya.
Dimulai pada 2006, pria 33 tahun itu mendirikan sebuah perusahaan di bidang jual beli produk smartphone. Kesibukan sering kali membuat Yohan begadang sampai larut malam. ”Kalau lagi begadang, saya pasti butuh kopi,” katanya.
Nyaris tidak ada hari yang dilewatkan Yohan tanpa minum kopi, seperti orang kecanduan. Sampai suatu saat sekitar sepuluh tahun lalu, dia minum kopi apek. Dari situ, Yohan mulai mencari tahu penyebab ada kopi yang tidak enak seperti itu. Dia mulai belajar otodidak. Membaca berbagai literatur. ”Ternyata, kopi itu unik. Satu daerah dengan daerah lainnya, satu peracik ke peracik lainnya, itu menghasilkan minuman kopi yang berbeda-beda. Tidak pernah sama,” jelas pria yang saat ini tinggal di kawasan Surabaya Barat tersebut.
Semakin banyak tahu, semakin besar pula rasa penasaran Yohan. Tidak cukup puas menjajal berbagai jenis minuman kopi, dia mulai belajar latte art. Metode itu menggunakan silky milk dalam foam untuk dibentuk sebuah hiasan di atas minuman kopi. Berdasar bentuknya, latte art dapat dibagi menjadi 2D dan 3D.
Pada dasarnya, terang Yohan, latte art 3D terbentuk dari hasil tambahan foam susu di atas bentuk dua dimensi. Suami Ineke Erwin Setiawati itu mengungkapkan, tidak ada teknik khusus yang digunakan dalam latte art. Bentuk-bentuk tersebut merupakan hasil kreativitas masing-masing. ”Bebas berkreasi apa pun. Tidak ada teori khusus untuk membentuk sesuatu di latte art,” ujar anak kedua di antara tiga bersaudara tersebut.
Ilmu kopi juga didapat Yohan dari menjelajah ke banyak tempat. Dia berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya di Indonesia. Juga dari satu negara ke negara lainnya. Selain itu, Yohan mulai mendalami dunia kopi di luar negeri. Dia berkeliling Asia, Eropa, dan Amerika. ”Saya tidak sekolah khusus. Tapi, saya sering belajar dari roaster di masing-masing negara yang pernah saya disinggahi,” kata ayah tiga anak itu.
Diskusi dengan roaster (peracik kopi profesional) itulah yang memperdalam ilmu Yohan di dunia kopi, termasuk latte art. Hingga saat ini dia juga masih sering keep in touch dengan para gurunya itu. Kalau tidak sempat berkunjung, Yohan menyempatkan waktu untuk berdiskusi melalui dunia maya. Hal tersebut hingga saat ini rutin dilakukannya.
Yohan menerangkan, ada tiga tingkat profesi terkait dengan peracik kopi. Pertama disebut barista, yakni orang di balik bar yang mampu meracik sajian kopi sesuai dengan profesinya. Di atas barista, terdapat primo atau senior barista. Primo adalah orang yang lebih menguasai dan mengatur alat-alat yang digunakan untuk meracik sajian kopi.
Di atas primo, ada roaster. Seorang roaster harus mengerti cara mengolah biji kopi menjadi bentuk bubuk. Sebagian besar roaster mampu membuat latte art. Baik dua dimensi maupun tiga dimensi. Yohan mampu membedakan kopi secara detail. Dari mencium saja, dia bisa menjelaskan asal daerah, kadar air, maupun jenis biji kopi yang digunakan.
Dua tahun lalu bisnis jual beli yang ditekuni Yohan terpuruk. Dia berusaha melirik usaha di bidang lain. Hingga pikirannya jatuh untuk berbisnis kopi saja. ”Saya suka kopi. Kenapa tidak membuat bisnis yang sesuai dengan hobi,” ungkap laki-laki yang mengidolakan roaster asal Taiwan Yu Chuan Jacky itu.
Bisnis kopinya ternyata mulai berkembang sejalan dengan kebangkitan bisnis produk smartphone-nya. Yohan pun berusaha menyeimbangkan dua usaha itu agar sama-sama selalu menunjukkan progres. Kafe Yohan didirikan di dekat rumahnya di Surabaya Barat. Di sana dia dapat mengeksplorasi kemampuan menyajikan kopi. Hanya, hingga saat ini Yohan belum menjual minuman kopi dengan latte art 3D.
Menurut dia, foam susu yang digunakan untuk membuat latte art itu harus tersaji dalam suhu kurang lebih 60 derajat Celsius. Kalau lebih atau kurang, rasa manis susu akan hilang. Kopinya harus disajikan dalam suhu 90 derajat Celsius. ”Menjaga suhu itu yang susah. Maka, saya tidak menjual sajian kopi dengan latte art 3D,” papar alumnus SMAN 1 Pasuruan tersebut.
Bagi orang awam, standar itu mungkin tidak penting. Namun, Yohan termasuk orang yang perfeksionis. Dia ingin segala sesuatu, terutama terkait kopi, harus sesuai standar internasional. Apalagi, menurut dia, bagi pencinta kopi, standar itu sangat penting. ”Di dunia kopi tidak ada yang salah. Lain kopi, lain masakan. Lain lidah, lain selera. Perbedaannya hanya terdapat di profil roasting,” ungkap Yohan.
Dia punya prinsip, ilmu yang dimiliki harus dikembangkan. Caranya berbagi dengan orang lain. Di kafenya, Yohan membuka kelas privat bagi siapa pun yang ingin belajar segala hal tentang kopi. Ada tiga modul yang disampaikan dalam kelas. Mulai dasar, menengah, hingga susah. Setiap modul dapat diselesaikan selama dua hari. Setiap pertemuan membutuhkan waktu empat jam. ”Muridnya bebas. Yang penting, minimal lima orang untuk mulai buka kelas,” katanya.
Sudah memiliki usaha sesuai hobi, Yohan masih memiliki misi lain. Yakni, ”mengopikan” Surabaya. ”Saya ingin mayoritas warga Surabaya memiliki budaya minum kopi. Ini merupakan salah satu usaha melestarikan kekayaan bangsa. Indonesia kan salah satu negara penghasil kopi terbesar dunia,” ujar Yohan.

Musisi dari Kos-kosan


DARI KAMAR KOS-KOSAN TELAH LAHIR MUSISI INTERNASIONAL


Disebuah kamar kos-kosan sederhana ukuran 3,5 x3,5 meter, seorang mahasiswa Tesla Manaf merintis karir sebagi seniman music.
Kamar yang tidak pernah berubah sejak tahun 2005 itu, terletak di jl. Dago, Bandung, kini dipenuhi berbagai alat music seperti gitar akustik, cello, organ, dan computer lengkap dengan sound mixing.
’’Ini saya beli satu per satu dari honor manggung,’’ ungkap lulusan Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Padjadjaran, itu.
Tidak banyak yang tahu bahwa dari kamar kos-kosan itulah telah lahir musisi internasional. Ya, Tesla tercatat telah mengeluarkan satu album internasional lewat studio asal New York, Moonjune Records. Dia juga sudah tiga edisi terakhir mengisi salah satu stage di Java Jazz Festival, ajang musik jazz terbesar di Indonesia saat ini.
Tesla mengakui bahwa dirinya tidak terlalu tenar di belantika musik Indonesia. ’’Musik saya memang terlalu rumit sehingga mungkin tidak banyak yang suka. Saya memilih aliran yang tidak biasa dan sangat segmented,’’ ujar lajang 27 tahun tersebut.
Keahlian bermusik Tesla itu turun dari sang ayah, Imam Aditya Effendi. Imam-lah yang mengajari Tesla bermain musik genre fusion rock yang dipadu musik klasik. ’’Waktu muda, ayah saya ikut kakek dan lama tinggal di Belanda. Di sanalah ayah kena banyak influence musik yang lagi ngetren saat itu,’’ kata Tesla.
Musik dengan nada yang rumit dan detail seperti Mahavisnu Orchestra, Gentle Giant, Emerson Lake and Palmer (ELP), termasuk aliran musik klasik dari Debussy, Bela Bartok, dan Krzysztof Penderecki adalah kesukaan sang ayah. Sejumlah piringan hitam album dari kelompok-kelompok musik itu dibawa pulang Imam dari Belanda ke Indonesia.
’’Dari situlah, sejak umur 4 tahun, saya terbiasa mendengarkan musik semacam itu,’’ ujarnya lantas tertawa.
Bukan hanya sang ayah, ibu Tesla, Tuti Effendi, juga penggemar musik pop era 70-an dan 80-an. Begitu pula kakaknya yang suka musik pure metal atau death metal. Semua jenis musik itulah yang mewarnai Tesla sat masa kecil.
’’Kalau mama muter Madonna di dapur, di ruang tengah, ayah muter musik klasik. Sedangkan di kamar, kakak muter death metal. Jadi, masuk ruangan mana, pasti suaranya berbeda,’’ kisahnya.
Hal itulah yang memacu Tesla untuk belajar alat musik. Alat musik pertama yang dipelajarinya adalah gitar saat dirinya menginjak usia 9 tahun. Tesla pada awalnya belajar sendiri, lalu ikut kelas musik di Yamaha Music School.
Awalnya, Tesla senang musik klasik. Bahkan, saking senangnya, dia sampai lupa sekolah. Dia sering membolos agar bisa berlatih gitar. Dia ketagihan pada musik klasik sehingga tidak pernah melewatkan setiap kompetisi atau konser yang diadakan Yamaha. Dia pun sering menang.
Menurut Tesla, musik klasik menuntut perfeksionisitas si musisi. Karena itulah, seseorang tidak bisa begitu saja mengalihkan perhatian saat mendalami musik klasik. ’’Menghafalkan partiturnya saja lumayan berat. Bahkan sampai sekarang masih susah.’’
Baru setelah menginjak kuliah, Tesla merasa bosan musik klasik. Dia mulai mengalihkan perhatian pada musik jazz dan fusion rock. ’’Ada teman main jazz. Ada chord-chord-nya, tapi juga ada angka 6 dan angka 9. Ini apa kok aneh banget? Saya lalu memilih belajar ke sumbernya,’’ katanya.
Saat kuliah itu, Tesla seakan mendapat spirit baru untuk lebih mendalami musik. Dasarnya adalah semangat yang tidak mau kalah dari temannya. Karena itu, dia berlatih mati-matian agar bisa lebih hebat daripada temannya. Sampai tidak disangka, ratusan lagu telah dilahapnya.
Setelah tiga tahun kuliah, barulah Tesla berpikir untuk menyebarkan lagu-lagu karyanya itu untuk didengar banyak orang. Caranya, mengunggahnya melalui SoundCloud. Ketika itu, media sosial seperti SoundCloud belum terlalu heboh dikenal banyak orang seperti sekarang.
’’Saya pilih lagu yang saya suka. Tapi, banyak orang yang mengejek. Ngapain masukin musik kayak gitu? Gak jelas,’’ ujarnya.
Tapi, Tesla cuek dengan segala cemoohan tersebut. Dia tetap konsisten memasukkan satu demi satu lagu ciptaannya ke SoundCloud. Hasilnya tidak sia-sia. Pada 2012, ada seseorang yang melirik lagu-lagu yang di-upload Tesla itu. ’’Ternyata, orang tersebut adalah talent scout dari studio rekaman di New York (Moonjune Records, Red). Dia ingin mendengarkan lagu-lagu saya yang lain.’’
Hanya berselang satu bulan, Moonjune Records kembali menghubungi Tesla melalui Facebook. Betapa kagetnya, Moonjune menawari Tesla kontrak untuk dua album. ”Tapi, saya nggak harus ke Amerika. Mereka kirim kontraknya, saya kirim balik, simpel banget,” ujarnya.
Pada 2013 Tesla fokus untuk membuat materi album internasional pertamanya. Delapan track lagu dia ciptakan. Album perdana internasionalnya itu memiliki cover judul Tesla Manaf. Teaser lagu Tesla tersebut bisa dinikmati di situs resmi Moonjune Record. Jika ditilik di situs itu, Tesla adalah musisi Indonesia ketiga yang dikontrak Moonjune, menyamai pencapaian Tohpati dan Dewa Budjana.
”Waktu rilis album perdana Desember tahun lalu, saya nggak bisa datang karena mau menabung dulu, untuk persiapan konser di AS September nanti,” ujarnya.
Ya, Tesla akan menjalani konser di empat kota di Negeri Paman Sam. Salah satu kota yang dituju adalah New York yang menjadi basis Moonjune Records. Tiga kota yang lain, dia tak mau menyebutkan. ”Yang pasti, saya akan konser lima sampai enam kali di empat kota itu,” ujarnya sembari tersenyum.
Sebelum ini Tesla melahirkan tiga album indie. Album perdana pada 2010 meluncur dengan judul Grace and Tesla. Di album itu dia berkolaborasi dengan Grace Sahertian. Setahun kemudian album DIG This hasil kolaborasi bersama keyboardist Ivan Jonathan lahir. Puncaknya di album ketiga dengan judul Its All Yours. Ini adalah album instrumental Tesla hasil kolaborasinya dengan Mahotra Ganesha Group, unit kesenian tradisional Institut Teknologi Bandung (ITB).
Di album ketiga itulah, fondasi Tesla sebagai seniman musik mulai terlihat. ”Karena semua saya producing sendiri,” ujar Tesla yang lulus kuliah pada 2011, tapi ijazahnya tak pernah diambil itu.
Di balik usahanya di bidang musik yang kini mulai meniti ke puncak, ada satu hal yang masih mengganjal di hati Tesla. Ternyata kedua orang tua Tesla sampai saat ini tidak pernah merestui keputusan Tesla menekuni jalur musik. Orang tua Tesla menginginkan anak bungsunya itu berkarir di dunia bisnis, sesuai latar belakang pendidikannya.
Tapi Tesla ingin membuktikan kepada orang tuanya, bahwa jalan hidupnya sudah benar. Berbagai usaha yang dia lakukan saat ini adalah upaya untuk meyakinkan orang tuanya. ”Saya ingin membuat mama-papa bangga dengan cara saya sendiri. Kalau dengan cara mereka, mungkin saya sudah jadi pegawai bank,” tandas dia sembari tertawa.


Sunday, March 15, 2015

CUMLAUDE tanpa SMA




SMA 1 Th,20 th LULUS CUM LAUDE DAN FOUNDER YPAB
Selesai mengikuti ujian nasional SMP pada pertengahan 2006, Andri Rizki Putra merasakan kekecewaan atas  buruknya system ujian nasional yang berlaku pada saat itu. Karena pada waktu itu rata-rata peserta unas disekolahnya diperbolehkan menyontek dengan bebas, bahkan ada guru yang kunci jawaban lewat sms kepada murid-muridnya. “Tidak ada gunanya nilai yang tinggi kalau didapat dari ketidakjujuran”, itu prinsip hidupnya.

Bagi Rizki, apa yang dia alami adalah suatu yang tidak masuk akal. Apalagi, saat ia mempermasalahkan hal itu, sang guru justru balik bertanya kenapa. ”Kenapa Rizki tak bilang ke saya (untuk dapat sontekan)? Nanti pasti kamu dapat nilai yang lebih bagus,” kata guru itu, lantas mencegah Rizki bertemu kepala sekolah.

Padahal, tanpa menyontek, Rizki bisa lulus dengan nilai bagus. Rata-rata nilai yang dia dapatkan dalam tiga mata pelajaran, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan Matematika, adalah 8,75. Ironi tak mandek di situ. Teman-teman sekolah Rizki yang notabene siswa salah satu SMP unggulan di Jakarta Selatan justru mengucilkannya.

Tentangan sosial membuat hari-hari kelulusan semakin berat. Sempat dia berpikir hendak melapor ke Indonesia Corruption Watch (ICW) dan mengekspose ke media, namun ditahan orang-orang dekatnya. Rizki drop dan depresi. Dia menghabiskan masa-masa menjelang SMA dengan mengurung diri di kamar dan enggan keluar rumah.

Saat masuk SMA pada 2006 juga, Rizki merasakan kekosongan hati yang luar biasa. Meski diterima di SMA unggulan, mendapat beasiswa prestasi, dan mencetak nilai tertinggi, dia sudah tak bersemangat sekolah. Akhirnya Rizki hanya satu bulan di SMA dan memilih putus sekolah. Kepercayaannya terhadap sekolah formal luntur.

Namun, jangan dikira Rizki akan menyerah untuk mendapat pendidikan. Dia meyakinkan sang ibu, Arlina Sariani, 50, bahwa dirinya mencari pola belajar dengan caranya sendiri. ”Saya menamakan jalur pendidikan SMA saya adalah unschooling,” ceritanya.

Bukan homeschooling yang harus membayar mahal biaya pendidikannya. Bukan juga bimbingan belajar yang masuk pendidikan nonformal. Unschooling merupakan jalur pendidikan tanpa lembaga, bahkan tanpa pengawasan orang tua. Dia belajar sendiri di rumah. Sumber pendidikannya dia raih dari membaca dan mempelajari buku-buku bekas dari saudara-saudaranya.

Sebetulnya unschooling yang dijalani Rizki merupakan program pemerintah untuk pendidikan informal berupa pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). Sistem itulah yang melahirkan ijazah paket. Sayang, ijazah paket sudah kadung bercitra negatif. Hanya karena lulusan ijazah paket, mayoritas anak-anak putus sekolah dan tak mampu secara akademik. Akses ke perguruan tinggi juga susah karena beberapa kampus tidak menerima pelamar dengan ijazah tersebut.

Selain research melalui internet, Rizki pergi ke dinas pendidikan untuk meyakinkan tetap bisa mengikuti ujian kesetaraan dengan pola pendidikan seperti itu. Bahkan, dia tertantang mengambil ujian paket C setara SMA dengan sistem akselerasi. Ternyata, diknas mengizinkan Rizki dengan beberapa syarat. Salah satunya, mengikuti placement test yang berisi ujian akademik dan tes IQ. Rupanya Rizki berhasil melampaui syarat ujian paket kesetaraan di bawah 17 tahun.

Untuk lolos tes paket, dalam sehari dia menghabiskan 22 jam untuk belajar. Dia melumat pelajaran yang normalnya diambil tiga tahun menjadi setahun saja. Pelajaran yang dirasa sulit dia cari jawabannya lewat internet. Dia juga rajin membaca surat kabar. ”Ujian paket seharusnya juga lebih sulit karena saya harus belajar enam mata pelajaran. Sebaliknya, ujian nasional hanya tiga mata pelajaran,” tuturnya yang saat ditemui mengenakan setelan jaket kuning dan celana jins warna cerah. Begitu hasil ujian paket keluar, Rizki mencetak nilai sangat tinggi dengan rata-rata 9 tiap pelajaran. Dia lulus SMA pada usia 16 tahun! ”Saat itu pun pengawas ujian sempat menyodori saya kunci jawaban agar saya lulus. Pasti saja saya tolak,” ujarnya, lantas tersenyum mengenang kisah ironi itu. Pendidikan pun dia dapatkan dengan sangat murah. Selama unschooling, dia hanya mengeluarkan biaya Rp 100 ribu. ”Untuk fotokopi ijazah,” candanya.

Pada 2007 Rizki tembus SNM PTN dan diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI). Bahkan, dekan fakultasnya heran karena ada mahasiswa dengan ijazah paket. Toh, pada 2011, pada usia 20 tahun, dia justru menjadi lulusan terbaik dengan predikat cum laude.

Pengalaman panjangnya dalam bersekolah itu memicu Rizki untuk membuat sekolah gratis. Tak sekadar gratis, dia membantu murid-muridnya mendapatkan ijazah paket A, B, dan C. Yayasan pertama yang dia dirikan adalah masjidschooling. Dia menamai masjidschooling karena proses pembelajarannya bertempat di teras Masjid Baiturrahman di bilangan Bintaro.

Rizki pun menjadi guru bagi puluhan muridnya yang putus sekolah. Selain itu, dia dibantu mengajar oleh ibu-ibu rumah tangga dan para mahasiswa STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Hingga kini masjidschooling berjalan empat tahun.

Selain samping itu, Rizki yang saat ini menjadi konsultan di firma hukum Baker and MzKenzie juga menjadi founder Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB) pada 2012. Berbeda dengan masjidschooling yang cenderung segmented untuk warga muslim karena dikelola ibu-ibu pengajian, YPAB lebih plural. Konsep pendidikan di YPAB juga fleksibel. Sebab, tutor di YPAB merupakan anak-anak muda berusia 20–30 tahun dengan berbagai latar belakang pendidikan dan profesional. Mereka menjadi relawan setia yang mengajar tanpa bayaran.

Terkadang Rizki juga menjalin kerja sama dengan relasinya di luar negeri seperti Meksiko dan Malaysia untuk mengajar di YPAB. Tidak pelak, murid-murid putus sekolah yang selama ini dipandang sebelah mata oleh masyarakat akhirnya mau tidak mau belajar ngomong Inggris. Yang membanggakan, sudah banyak murid ”schooling” Rizki yang ”naik kelas”. Dari tukang jual koran menjadi pegawai admin di media. Dari pembantu rumah tangga (PRT) menjadi admin di perkantoran.

Bahkan, Prihatin, salah seorang murid yang sehari-hari berjualan pisang goreng di Tanah Abang, menjadi peraih nilai ujian nasional paket B tertinggi nasional. Kini Prihatin melanjutkan paket C. Dua murid lainnya yang bekerja sebagai PRT, ungkap Rizki, akan melanjutkan kuliah.

Kendati demikian, mengembangkan YPAB hingga memiliki ratusan murid dari hanya dua murid bukan hal mudah. Banyak pula tekanan dari masyarakat. Misalnya, warga pernah memprotes Rizki karena mengira yayasannya adalah tempat berbuat mesum. Sebab, awal-awal berdiri, proses pembelajaran YPAB di dalam kamar dan garasi. ”Pernah juga dikira tengah melakukan kristenisasi dengan antek-antek asing,” papar Rizki yang ingin melanjutkan kuliah school of education di Amerika Serikat.

Namun, semua itu dilalui dengan baik. YPAB kini memiliki beberapa cabang. Selain di Tanah Abang, juga di Bintaro, kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Medan. Rencananya Rizki juga mendirikan YPAB di luar Jawa. Dari sisi kurikulum, selain menggenjot kemampuan bahasa, dia akan menambahkan praktik entrepreneurship.

”Saya tidak memaksa murid untuk punya nilai bagus. Tapi, menekankan pentingnya kejujuran. Lihat, koruptor itu adalah orang-orang pintar, namun sudah tidak jujur sejak dalam pikiran,” tegas Rizki yang juga giat di Brunch Club, komunitas pencetus ide-ide pemula bisnis TI atau Start Up itu.




Saturday, March 14, 2015

Manager Path Ina

WILLIAM TUNGGALDJAYA DITUNJUK JADI COUNTRY MANAGER PATH INDONESIA

Sesosok pria muda asal Bandung, William Tunggaldjaja telah ditunjuk sebagai Country Manager Path untuk Indonesia. Path yang merupakan Jejaring sosisal pribadi itu kian serius menjajaki Indonesia sebagai salah satu pasar terbesarnya.

Lalu seperti apakah sosok pria kelahiran 30 tahun silam tersebut? William sudah tidak asing lagi dalam dunia teknologi, berkat serentetan pengalamannya di bidang teknologi dan internet.

Pria lulusan University of California, Berkeley ini telah hijrah ke Amerika Serikat (AS) sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) pada 1998.

William mengawali karirnya di Johnson & Johnson di Vacaville, California, sebagai Co-Op Equipment Engineer selama Juli-Desember 2006, hingga kemudian menjadi Corporate Finance Internet selama Juli-September 2007.
Cinta Dunia Teknologi 

Kemudian pada Juli 2008, William resmi menjadi salah satu pegawai dari raksasa software asal Negeri Paman Sam, Microsoft. Pria berkacamata ini bekerja di markas besar Microsoft di Redmond, Washington hingga Januari 2013. Salah satu tugasnya adalah memperkuat divisi Windows sejak Juli 2010-Januari 2013.

Melihat rekam jejaknya selama ini, tentu William sudah tak asing lagi dengan dunia teknologi. Bahkan dia mengaku sejak kecil sudah jatuh cinta dengan teknologi.

"Dari kecil saya memang suka dengan teknologi dan berhubungan dengan konsumen. Karena itu selalu bekerja di lingkungan teknologi dan internet," tutur William saat ditemui di kawasan SCBD, Jakarta, Selasa (17/2/2015).
Setelah tinggal lama di negeri orang, William akhirnya memutuskan kembali ke Tanah Air - meskipun saat itu seluruh keluarga intinya berada di AS. William mengawali karirnya di Indonesia sebagai Vice President Campaign Lead Lazada Indonesia sejak awal 2013 hingga akhir tahun.

Saat di Lazada, sejumlah tanggungjawabnya adalah mendorong promosi produk serta melakukan langkah-langkah monetisasi dan mengembangkan kerjasama strategis.

Lepas dari Lazada, William pun berlabuh di layanan online pencarian restoran asal India, Zomato per Desember 2013. Saat itu ia menjabat sebagai Country Manager Zomato untuk Indonesia.

Setelah lebih dari satu tahun membantu mengembangkan Zomato di Indonesia, William akhirnya jatuh ke pelukan Path. Ia resmi menjadi Country Manager untuk Indonesia mulai Februari 2015.
Kepincut Path
Sama seperti sejumlah pengguna smartphone yang kepincut dengan Path, hal yang sama juga terjadi pada William. Salah satunya karena Path sebagai jejaring sosial pribadi, sehingga dia bisa leluasa berhubungan dengan keluarga dan teman-temannya. Ia mengaku sebagai salah satu pengguna Path, hingga akhirnya menjadi orang nomor satu di Path Indonesia.
William sadar bahwa tugasnya tidak mudah untuk 'menaklukkan' hati Indonesia, karena itu ia bersama timnya akan berusaha keras agar seluruh pengguna smartphone bisa menjadi bagian dari 'keluarga besar' Path.

Menurut William, Indonesia adalah salah satu negara dengan pengguna media sosial teraktif di dunia. Untuk itu, ia yakin Path dengan keistimewaanya sebagai jejaring sosial pribadi akan mampu menarik lebih banyak perhatian.

"Kehadiran kita di sini adalah untuk mempererat hubungan antara Path dan Indonesia. Kami yakin Path akan tumbuh lebih besar lagi di Indonesia, terutama karena saat ini Indonesia adalah salah satu pasar terpenting bagi Path," ungkapnya.