Konferensi teknologi TEDxManhattanBeach yang berlangsung di South
Bay, Los Angeles, pada 22 Oktober silam sontak menjadi riuh. Kehadiran
Thomas Suarez di tengah-tengah para ahli teknologi dalam sebuah ajang
bertajuk “Tranforming Learning” adalah pemicunya. Pasalnya, bocah
berusia 12 tahun itu mempresentasikan produk ciptaan serta perusahaan
startup-nya kepada khalayak dengan penuh percaya diri dan bahasa tubuh
yang mengingatkan publik akan mendiang Steve Jobs. Tak heran, jika
banyak pihak meramalkan dirinya sebagai pengganti pendiri Apple Inc
tersebut. Siapakah sebenarnya Thomas Suarez ini?
Thomas
hanyalah bocah asal California yang duduk di bangku kelas 6. Ia adalah
pendiri CarrotCorp, startup yang kini tengah mengembangkan aplikasi
untuk iOS. Bocah yang konon telah terpesona oleh komputer sejak sebelum
masuk TK ini mulai membangun impian dengan klub di sekolah. Ia mengajak
teman-temannya untuk masuk klub yang memiliki agenda menciptakan
aplikasi. Dari penjelasan Thomas, ada guru yang akan mengajarkan
anak-anak mengenai aplikasi untuk iPad di klub itu dan rencananya
keberadaan klub tersebut akan meluas ke seluruh distrik tempat
tinggalnya. Anak-anak yang tertarik masuk ke dalam ini takkan diminta
pungutan bayaran apapun.
“Banyak anak yang hobi bermain game tapi sekarang mereka ingin menciptakannya,” ujarnya seperti dikutip dari laman The Star,
Jumat (11/11). Ia melanjutkan, “Dan ini sulit karena tak semua anak
yang tahu di mana mereka bisa belajar membuat program. Tak banyak
orangtua yang juga memahaminya.” Dengan kecerdasannya, Thomas berusaha
membuat wadah di mana anak-anak seusianya atau bahkan lebih muda bisa
mengenal dunia programming sejak dini. “Bagi yang suka sepak
bola bisa masuk tim sepak bola, tapi bagaimana dengan anak yang gemar
membuat aplikasi?” paparnya dalam presentasi di TEDx seperti dilansir
dari Daily Mail, Selasa (15/11).
Pengagum Steve Jobs ini mengaku telah tertarik dengan coding
sejak taman kanak-kanak dan tak berapa lama sesudahnya ia mempelajari
secara otodidak program dasar lain seperti Python, C dan Java. Bocah
berponi ini mulai tergugah mencipta dan menjual aplikasi ketika Apple
meluncurkan Software Development Kit. Di penghujung tahun 2010, Thomas
merilis aplikasi pertamanya yakni Earth Fortune, program yang bisa
mengubah warna bumi berdasarkan peruntungan.
Karyanya yang paling laris bertajuk ‘Bustin Jieber’, game yang terinspirasi dari whac-a-mole itu memungkinkan player
bisa meninju secara virtual wajah idola muda asal Kanada, Justin
Bieber. “Saya membuatnya karena banyak anak di sekolah yang tak begitu
menyukai Justin Bieber,” candanya.
Kini, di tengah-tengah waktu luangnya, Thomas sedang sibuk mengelola
CarrotCorp. Startup itu berdiri untuk menjual semua aplikasi yang
berhasil diciptakannya. Ketika mempresentasikan produknya di TEDx,
Thomas membuat penasaran khalayak dengan memamerkan salah satu tagline
di laman tersebut yang berbunyi, ‘Uploading pictures will never be the
same. Coming soon’.
Untuk ke depannya, Thomas memiliki misi mengembangkan program
aplikasi untuk Android. Nah bagaimana menurut Anda, apakah bocah ini
layak memeroleh julukan ‘the next Steve Jobs’? (*/ely)
Artikel-artikel Inspirasi,dan Motivasi Bisnis,serta Kisah-kisah Entrepreneur Cilik menjadi Pengusaha Sukses
Wednesday, July 25, 2012
Saturday, July 21, 2012
Remaja Ini Menjadi Entrepreneur Berkat Rambut Indah
Memiliki rambut indah merupakan karunia besar bagi Leanna Archer. Tak
hanya mampu menambah rasa percaya diri, melalui rambutnya yang indah
itu jugalah Leanna bisa memeroleh penghasilan lebih dari US$ 100 ribu
per tahun (sekitar Rp900,5 juta) serta berkesempatan menjadi pembicara
di beragam event yang berkaitan dengan entrepreneurship. Dan
yang membuat perempuan ini tampak sangat hebat adalah ia telah menjadi
CEO perusahaannya sendiri di kala usianya 9 tahun!
Sejak kecil Leanna sering mendapat pujian dari orang lain berkat rambutnya yang hitam berkilau indah. Rahasia rambut indah Leanna itu bukan berkat perawatan eksklusif di salon ternama melainkan dari formula tradisional milik sang nenek. Karena sering ditanya resep kecantikan rambutnya, Leanna memberanikan diri untuk menjual formula homemade neneknya.
Respon penjualan terhadap produk perawatan rambutnya sangat positif. Tak lama kemudian, ia menyambut peluang yang sudah terbuka itu dengan mendirikan perusahaan Leanna’s Inc. dibantu oleh anggota keluarganya, Leanna memasarkan aneka macam produk perawatan rambut mulai dari sampo, conditioner, shea butter dan produk perawatan rambut lain berbahan alami di toko-toko dan online.
Mempunyai bisnis menguntungkan membuka pintu bagi gadis berdarah Haiti ini untuk berbagi kisah sukses terutama kepada anak-anak remaja seusianya. Ia menerima banyak undangan bergengsi dari sejumlah organisasi serta perusahaan ternama untuk menjadi pembicara, seperti ajang Black Enterprise’s Teenpreneur’s Conference, forum What Makes A Young Champion di Singapura, acara NAACP Youth Worshop 2009 dan diundang Apple Inc. untuk menghadiri pertemuan para eksekutif bidang edukasi dalam rangkaian acara Education Leadership Summit 2010 yang terbatas untuk umum itu. Berminat untuk menularkan semangat entrepreneurship kepada orang lain, gadis yang berdomisili di Long Island, New York ini sangat menikmati saat-saat berbagi kisah dan resep suksesnya.
Sukses dan berpenghasilan besar tak membuat Leanna lupa diri atau sombong. Ia tetap gadis remaja yang rendah hati serta murah hati. Hal itu terbukti dengan keputusannya untuk mendirikan Leanna Archer Education Foundation, organisasi sosial untuk membantu anak-anak miskin di Haiti dengan program pendirian sekolah serta pemahaman mengenai kelestarian lingkungan kepada lebih dari 150 anak usia sekolah. Di usianya yang kini menginjak 15 tahun, Leanna tetap bersemangat menebarkan ‘virus’ entrepreneurship dengan berpegang pada prinsipnya “dreams are wild, but they’re wild enough to come true”.
Sejak kecil Leanna sering mendapat pujian dari orang lain berkat rambutnya yang hitam berkilau indah. Rahasia rambut indah Leanna itu bukan berkat perawatan eksklusif di salon ternama melainkan dari formula tradisional milik sang nenek. Karena sering ditanya resep kecantikan rambutnya, Leanna memberanikan diri untuk menjual formula homemade neneknya.
Respon penjualan terhadap produk perawatan rambutnya sangat positif. Tak lama kemudian, ia menyambut peluang yang sudah terbuka itu dengan mendirikan perusahaan Leanna’s Inc. dibantu oleh anggota keluarganya, Leanna memasarkan aneka macam produk perawatan rambut mulai dari sampo, conditioner, shea butter dan produk perawatan rambut lain berbahan alami di toko-toko dan online.
Mempunyai bisnis menguntungkan membuka pintu bagi gadis berdarah Haiti ini untuk berbagi kisah sukses terutama kepada anak-anak remaja seusianya. Ia menerima banyak undangan bergengsi dari sejumlah organisasi serta perusahaan ternama untuk menjadi pembicara, seperti ajang Black Enterprise’s Teenpreneur’s Conference, forum What Makes A Young Champion di Singapura, acara NAACP Youth Worshop 2009 dan diundang Apple Inc. untuk menghadiri pertemuan para eksekutif bidang edukasi dalam rangkaian acara Education Leadership Summit 2010 yang terbatas untuk umum itu. Berminat untuk menularkan semangat entrepreneurship kepada orang lain, gadis yang berdomisili di Long Island, New York ini sangat menikmati saat-saat berbagi kisah dan resep suksesnya.
Sukses dan berpenghasilan besar tak membuat Leanna lupa diri atau sombong. Ia tetap gadis remaja yang rendah hati serta murah hati. Hal itu terbukti dengan keputusannya untuk mendirikan Leanna Archer Education Foundation, organisasi sosial untuk membantu anak-anak miskin di Haiti dengan program pendirian sekolah serta pemahaman mengenai kelestarian lingkungan kepada lebih dari 150 anak usia sekolah. Di usianya yang kini menginjak 15 tahun, Leanna tetap bersemangat menebarkan ‘virus’ entrepreneurship dengan berpegang pada prinsipnya “dreams are wild, but they’re wild enough to come true”.
Wednesday, July 18, 2012
Kisah Hamzah Izzulhaq, Entrepreneur Sukses Berusia 18 Tahun
Entrepreneur berusia 18 tahun ini tidak ingat secara pasti kapan
pertama kali dirinya mulai berdagang. Namun satu hal yang pasti adalah
bibit-bibit kemandiriannya telah terbentuk sejak ia masih duduk di
bangku sekolah dasar. Mulai dari menjual kelereng, gambaran, petasan
hingga menjual koran, menjadi tukang parkir serta ojek payung, Hamzah
Izzulhaq, demikian nama entrepreneur muda ini memoles jiwa
entrepreneurship-nya. Bertujuan menambah uang saku, ia melakoni semua
itu di sela-sela waktu luang saat kelas 5 SD.
Hamzah, begitu dia sering disapa, terlahir dari keluarga menengah sederhana. Sang ayah berprofesi sebagai dosen sementara ibunda adalah guru SMP. Secara ekonomi, Hamzah tak kekurangan. Ia senantiasa menerima uang saku dari orangtuanya. Namun terdorong oleh rasa ingin Mandiri dan memiliki uang saku yang lebih banyak, Hamzah rela menghabiskan waktu senggangnya untuk mencari penghasilan bersama dengan teman-temannya yang secara ekonomi masuk dalam kategori kurang mampu.
Hamzah mulai menekuni bisnisnya secara serius ketika beranjak remaja dan duduk di bangku kelas 1 SMA. Ia berjualan pulsa dan buku sekolah setiap pergantian semester. Pemuda kelahiran Jakarta, 26 April 1993 ini melobi sang paman yang kebetulan bekerja di sebuah toko buku besar untuk menjadi distributor dengan diskon sebesar 30% per buku. “Buku itu lalu saya jual ke teman-teman dan kakak kelas. Saya beri diskon untuk mereka 10%, sehingga saya mendapat 20% dari setiap buku yang berhasil terjual. Alhamdulillah, saya mengantongi nett profit pada saat itu mencapai Rp950 ribu/semester,” aku Hamzah kepada CiputraEntrepreneurship.com.
Uang jerih payah dari hasil penjualan pulsa dan keuntungan buku kemudian ditabungnya. Sebagian dipakai untuk membuka konter pulsa dimana bagian operasional diserahkan kepada teman SMP-nya sementara Hamzah hanya menaruh modal saja. Sayangnya, bisnis itu tak berjalan lancar. Omzet yang didapat sering kali dipakai tanpa sepengetahuan dan seizin Hamzah. Voucher pulsapun juga sering dikonsumsi secara pribadi. Dengan kerugian yang diteriman, Hamzah akhirnya memutuskan untuk menutup usaha yang hanya berjalan selama kurang lebih 3 bulan itu. “Sampai sekarang etalase untuk menjual pulsa masih tersimpan di gudang rumah,” kenang Hamzah sambil tertawa.
Dengan menyimpan rasa kecewa, Hamzah berusaha bangkit. “Saya sangat suka membaca buku-buku pengembangan diri dan bisnis. Terutama buku “Ciputra Way” dan “Quantum Leap”. Sehingga itu yang membuat saya bangkit ketika rugi berbisnis,” jelasnya. Bermodal sisa tabungan di bank, Hamzah mulai berjualan pulsa kembali. Beberapa bulan kemudian, tepatnya ketika ia kelas 2 SMA, Hamzah membeli alat mesin pin. Hal itu nekat dilakoninya karena ia melihat peluang usaha di sekolahnya yang sering mengadakan sejumlah acara seperti pentas seni, OSIS dan lainnya, yang biasanya membutuhkan pin serta stiker. Dari acara-acara di sekolah, ia menerima order yang cukup besar. Tapi lagi-lagi ia harus menerima kenyataan merugi lantaran tak menguasai teknik sehingga banyak produk orderan yang gagal cetak dan mesinnya pun rusak. “Ayah sedikit marah dengan kerugian yang saya buat itu,” lanjut Hamzah.
Dari kerugian itu, Hamzah merenung dan membaca biografi pengusaha sukses untuk menumbuhkan kembali semangatnya. Tak berapa lama, ia mulai berjualan snack di sekolah seperti roti, piza dan kue-kue. Profit yang terkumpul dari penjualan makanan ringan itu sebesar Rp5 juta. Pada pertengahan kelas 2 SMA, ia menangkap peluang bisnis lagi. Ketika sedang mengikuti seminar dan komunitas bisnis pelajar bertajuk Community of Motivator and Entrepreneur (COME), Hamzah bertemu dengan mitra bisnisnya yang menawari usaha franchise bimbingan belajar (bimbel) bernama Bintang Solusi Mandiri. “Rekan bisnis saya itu juga masih sangat muda, usianya baru 23 tahun. Tapi bimbelnya sudah 44 cabang,” terangnya.
Hamzah lalu diberi prospektus dan laporan keuangan salah satu cabang bimbel di lokasi Johar Baru, Jakarta Pusat, yang kebetulan ingin di-take over dengan harga jual sebesar Rp175 juta. Dengan hanya memegang modal Rp5 juta, pengusaha muda lulusan SMAN 21 Jakarta Timur ini melobi sang ayah untuk meminjam uang sebagai tambahan modal bisnisnya. “Saya meminjam Rp70 juta dari ayah yang seharusnya uang itu ingin dibelikan mobil. Saya lalu melobi rekan saya untuk membayar Rp75 juta dulu dan sisanya yang Rp100 juta dicicil dari keuntungan tiap semester. Alhamdulillah, permintaan saya dipenuhi,” kenang Hamzah.
Dari franchise bimbel itu, bisnis Hamzah berkembang pesat. Keuntungan demi keuntungan selalu diputarnya untuk membuat bisnisnya lebih maju lagi. Kini, Hamzah telah memiliki 3 lisensi franchise bimbel dengan jumlah siswa diatas 200 orang tiap semester. Total omzet yang diperolehnya sebesar Rp360 juta/semester dengan nett profit sekitar Rp180 juta/semester. Sukses mengelola bisnis franchise bimbelnya, Hamzah lalu melirik bisnis kerajinan SofaBed di area Tangerang.
Sejak bulan Agustus lalu, bisnis Hamzah telah resmi berbadan hukum dengan nama CV Hamasa Indonesia. Lulusan SMA tahun 2011 ini duduk sebagai direktur utama di perusahaan miliknya yang omzetnya secara keseluruhan mencapai Rp100 juta per bulan. “Saat ini saya sedang mencicil perlahan-lahan modal yang saya pinjam 2 tahun lalu dari ayah. Alhamdulillaah, berkat motivasi dan Pak Ci saya sudah bisa ke Singapore dan Malaysia dengan hasil uang kerja keras sendiri,” ujarnya.
Menurut Hamzah, dari pengalamannya, berbisnis di usia muda memiliki sejumlah tantangan plus kendala seperti misalnya diremehkan, tidak dipercaya dan lain sebagainya. Hal itu dianggapnya wajar. “Maklum saja, sebab di Indonesia, entrepreneur muda dibawah 20 tahun masih amat langka. Kalau di Amerika usia seperti saya ini mungkin hal yang sangat biasa,” tutupnya.
Saturday, July 7, 2012
Lizzie Marie, Chef Cilik yang Ingin Membangun Kerajaan Bisnis
Kali pertama Lizzie Marie Likness disejajarkan dengan selebriti chef
adalah saat usianya 7 tahun. Ketika itu, banyak yang meramalkan gadis
yang kini telah beranjak remaja ini akan menjadi pengganti Rachael Ray,
selebriti chef sekaligus pengusaha wanita ternama AS. Kini saat usianya
11 tahun, entrepreneur cilik yang memang menyukai dunia memasak itu
semakin memantapkan langkahnya untuk meraih impian yakni mendirikan
kerajaan bisnis di bidang yang disukainya.
Upaya untuk mencapai mimpinya telah banyak dilakukan Lizzie. Melalui website-nya, Lizzie rajin meng-update resep sehat praktis untuk konsumsi anak plus tayangan video serta blog yang menarik. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai pelajar, ia juga menyempatkan diri ‘meracik’ proyek berupa program TV online untuk WebMD bertajuk “Healthy Cooking with Chef Lizzie”. Ke depannya, gadis asal Atlanta yang membangun bisnis dengan tajuk Lizzie Marie Cuisine pada 2006 ini berencana menyusun buku masak serta perlengkapan masak dengan brand bisnisnya.
Bagi entrepreneur cilik ini, passion yang begitu kuat telah menuntunnya pada kesuksesan dalam berbisnis. Untuk mengetahui perjalanan Lizzie dalam mengembangkan hobi menjadi bisnis serta mengenal sosoknya lebih lanjut, simak hasil percakapan remaja yang memiliki perusahaan Lizzie Marie Cuisine dengan Huffington Post berikut.
Usia berapa kamu mulai jatuh cinta pada dunia memasak?
Aku mulai memasak ketika berusia 2 tahun. Ibu dan nenek yang mengajari. Sejak kecil, ibu selalu membawaku ke dapur dan menjadikanku penyicip masakannya. Jika ia membuat sup atau apple sauce, aku akan membantu mengaduk masakannya dan terkadang menambahkan bumbu.
Lalu di usia 6 tahun, aku tertarik menunggang kuda. Aku meminta ijin orangtua untuk memperbolehkan ikut kursus menunggang kuda jika aku bisa membiayainya sendiri. Dan orangtuaku bertanya bagaimana cara aku bisa memeroleh uang tersebut kemudian aku menjawabnya dengan menjual homemade makanan nan sehat ke toko petani lokal. Aku melakukannya hingga satu setengah tahun dan mulai menyadari bahwa aku suka sekali memasak dan bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa healthy food dapat menjadi hidangan yang lezat dan menyenangkan.
Kapan kamu mulai menyadari hasil penjualanmu ternyata lebih dari sekadar uang untuk membiayai kursus menunggang kuda dan kemungkinan bisa menjadi peluang bisnis yang sesungguhnya?
Aku tidak pernah menyangka bisa membangun bisnis hanya dengan menjual apple dapple bread dan chocolate chip cookies di toko lokal. Ini lebih pada kepuasan telah melakukan sesuatu untuk mengejar passion yang kumiliki. Tapi ketika aku melihat banyak orang yang menyukai masakanku dan menyadari bahwa aku menikmati momen saat aku bangun pagi-pagi sekali untuk memasak dan melihat reaksi orang ketika mencicip masakanku, saat itulah aku ingin membawa hobi ini ke level selanjutnya. Lalu aku bertanya kepada ayah bagaimana cara membuat website. Dan kita membuat video pertama kemudian meng-upload-nya ke YouTube. Aku begitu gugup. Banyak yang mendukung dan ada juga yang berpikir bahwa anak seusiaku seharusnya tidak berada di dapur untuk memasak. Itulah pendapat orang. Tapi aku menyukai apa yang kulakukan dan hal itu menuntunku untuk melakukan hal-hal yang menakjubkan. Semua mengalir apa adanya dan menikmati kemana arus ini akan membawaku.
Bagaimana reaksi konsumen?
Banyak orang yang terkejut begitu tahu berapa usiaku, mereka tak menyangka anak berusia 6 tahun berada di dapur membuat roti dan kue. Saat mereka mencicip hasil masakanku, mereka lebih terkejut lagi karena rasanya enak dan bahannya ternyata juga sehat. Banyak juga yang ragu-ragu untuk mencicip karena resepku termasuk kreatif dan memakai bahan-bahan unik. Tapi ketika mencicipnya, mereka sadar bahwa makanan sehat tak harus disajikan dengan cara yang membosankan—makanan sehat juga bisa terasa “yummy” dan menarik.
Apakah bisnismu ini juga diinspirasikan dari program orangtua yakni combined 100-pound weight loss?
Ketika orangtua menurunkan berat badan mereka, aku berusia 2 atau 3 tahun, jadi aku tak begitu menyadarinya. Ayah memang mempunyai bisnis healthy-living dan saat beranjak besar lalu mengenal dunia bisnis yang digelutinya, aku sadar bisnisnya itu sangat inspiratif dan semakin memicu minatku akan makanan sehat. Aku berpikir bila orangtuaku bisa, orang lainpun pasti bisa.
Ayah sangat membantu dari sisi bisnis. Sementara aku dan ibu lebih banyak bertukar ide tentang bagaimana kita membuat resep yang bisa diketahui anak-anak secara reguler dan membuatnya dengan resep sehat dan terlihat menarik.
Kedua orangtua benar-benar sangat mendukung aku. Ketika aku menyukai tenis, mereka berusaha untuk menyakinkan aku telah berusaha keras untuk menjadi yang terbaik di dunia tenis. Begitu pula di bisnis makanan ini. Membangun bisnis memang sulit tak peduli berapa usia saat merintisnya. Kamu pasti membutuhkan nasihat dan orangtua adalah satu dari sekian banyak orang yang bisa memberikan saran terbaik. Tak perlu takut meminta pendapat mereka, resapi saja semua saran yang diberikan dan tunjukkan kepada mereka bahwa saran serta dukungannya sungguh berarti. Merekapun pada akhirnya bisa melihat apa yang kamu lakukan merupakan impian yang ingin diraih. Terbukalah dengan ide atau saran yang berguna untuk memulai bisnis dan lihatlah kemana hal tersebut akan membawamu.
Bagaimana kesempatan dari WebMD muncul?
WebMD yang datang padaku. Mereka berminat membuat web show yang cocok untuk dikonsumsi anak-anak, mengajarkan pola makan sehat menjadi hal yang menyenangkan dan mengajak anak untuk terjun ke dalamnya. Ini sangat menarik buatku karena chef pertama yang menurut mereka cocok untuk mengisi acara tersebut adalah Jamie Oliver. Tapi, ia berhalangan karena sedang mengerjakan Food Revolution. Dan orang kedua yang terpikir oleh mereka adalah aku dan itu membuatku sangat tersanjung. Bekerja sama dengan mereka (WebMD) sangat menyenangkan—Desember lalu mereka mengajakku ke New York selama seminggu untuk proses penyutingan. Meski terlihat santai tapi aku bekerja keras dalam proyek itu dan aku ingin melakukannya kembali.
Apakah itu terjadi ketika kamu menyadari bisa menjadi “the next Rachael Ray”?
Sangat menyenangkan menyaksikan acara dia (Rachael Ray) dan menurutku dia adalah chef hebat yang memiliki energi dan semangat tinggi serta terlihat sangat menyukai apa yang ia lakukan. Akupun ingin sekali memiliki kesempatan yang sama dengannya dan mempunyai acara talk show atau cooking show sendiri seperti dirinya suatu hari nanti. Dia adalah sosok yang sangat kukagumi dan aku ingin seperti dia.
Bagaimana rasanya bertemu dengan Rachael Ray di acaranya sebagai salah satu kontestan Kindness Challenge?
Aku sama sekali tidak gugup tapi begitu acara telah selesai dan sadar bahwa aku telah berada di panggung yang sama dengannya aku menjadi gugup. Tapi itu adalah pengalaman berharga dan sangat menyenangkan. Aku senang bisa berjabat tangan dengannya dan juga bangga karena aku adalah kontestan termuda. Ketika Rachael memperkenalkan diriku melalui putaran video dan menyebut namaku, aku sangat gembira dan berkata dalam hati, “Ya ampun, Rachael tahu namaku.”
Nasihat apa yang ia (Rachael Ray) berikan untukmu?
Ia berkata kepada kami (semua kontestan Kindness Challenge) untuk terus melakukan apa yang telah kami lakukan dan melakukan apa yang kami cintai. Dia juga berkata, jangan biarkan orang lain menyuruh apa yang seharusnya kita lakukan atau bagaimana seharusnya kita melakukannya. Karena jika melakukan sesuatu atas kehendak orang lain, kamu takkan bisa bahagia. Tapi jika melakukan sesuatu yang kamu sukai dan benar-benar memiliki passion dengan hal tersebut, segala hal yang menyenangkan akan terjadi.
Apa rencana bisnismu? Apa visimu?
Aku sedang menyusun buku masak untuk anak dan orang dewasa, sebab aku ingin mengajak anak-anak ke dapur untuk membantu memasak. Aku bekerja sama dengan perusahaan makanan yang cukup besar—tapi belum bisa menyebutnya sekarang—untuk membicarakan kemungkinan membuat brand, memiliki produk yang berbeda dan hal-hal semacam itu. Aku juga ingin membuat perlengkapan masak seperti halnya Rachael Ray. Akupun menyimpan sejumlah proyek menarik yang bisa membuat Lizzie Marie Cuisine tumbuh semakin besar.
Apakah kamu ingin berkecimpung dengan dunia ini hingga dewasa nanti atau ada hal lain yang ingin kamu lakukan kelak?
Aku masih belum tahu apakah akan terjun di dunia ini sepanjang hidupku tapi saat ini aku benar-benar sedang menikmatinya. Aku memiliki passion di bidang lain seperti sains forensik, membaca dan memanah. Aku juga belum tahu apakah nanti akan kuliah dan membuka restoran tapi bila memikirkan memiliki TV show sendiri dan membuat perlengkapan rumah tangga dengan nama Lizzie Marie Cuisine, itu adalah impian yang sangat indah. Aku tidak akan mengatakan saat berusia 20 tahun aku akan membuka resto atau mungkin juga akan meninggalkan Lizzie Marie Cuisine, sebab takkan ada yang tahu apa yang akan terjadi esok. Tapi selama ini aku memiliki pengalaman menakjubkan dengan Lizzie Marie Cuisine dan aku tertarik untuk melihat apa yang akan terjadi dengannya kelak.
Banyak entepreneur yang menemui sejumlah tantangan dalam menyeimbangkan kehidupan pribadi dengan bisnis, tak peduli berapapun usia mereka. Lalu apa rahasiamu untuk membuat keduanya seimbang?
Meski aku mempunyai bisnis yang sedang berjalan tapi perusahaanku belum begitu besar hingga membuat paparazzi tertarik olehnya. Yang terpenting, teman-teman sangat mendukung dan menurut mereka apa yang tengah kulakukan sangat menyenangkan. Mereka tetap memperlakukanku sama. Tapi kadang terasa lucu ketika sedang bercakap-cakap dan menanyakan kegiatan selama akhir pekan kebanyakan dari mereka menjawab bermain roller skating atau pergi belanja sementara aku mengisinya dengan shooting di CNN. Aku pernah memikirkan bahwa hidupku akan semakin sibuk seiring dengan semakin berkembangnya Lizzie Marie Cuisine. Tapi aku mengambil homeschool dan itu lebih fleksibel serta mudah mengatur waktu. Sekali lagi kukatakan, tanpa keluarga dan teman-teman, aku mungkin takkan memiliki Lizzie Marie Cuisine. Mereka semua membuatku mempunyai kehidupan yang normal dan membantuku tak mudah lupa diri, jadi aku tak merasa menjadi “anak 11 tahun yang terkenal karena memiliki bisnis sendiri”.
Ada nasihat untuk para entrepreneur cilik?
Lakukan saja apa yang kamu sukai, meski kamu tak yakin bisa melakukannya. Orang selalu menanyakan hal yang sama kepada anak-anak, “Apa yang akan kamu lakukan setelah dewasa?” Menurutku jangan menunggu hingga dewasa untuk melakukannya. Aku akan menjawabnya seperti ini, “Aku telah memiliki bisnis sendiri. Mudah-mudahan, saat dewasa aku telah memiliki TV show.” Hal terpenting adalah melakukan hal yang paling disukai. Jangan pernah takut untuk melakukan hal yang kamu sukai. (*/ely)
Upaya untuk mencapai mimpinya telah banyak dilakukan Lizzie. Melalui website-nya, Lizzie rajin meng-update resep sehat praktis untuk konsumsi anak plus tayangan video serta blog yang menarik. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai pelajar, ia juga menyempatkan diri ‘meracik’ proyek berupa program TV online untuk WebMD bertajuk “Healthy Cooking with Chef Lizzie”. Ke depannya, gadis asal Atlanta yang membangun bisnis dengan tajuk Lizzie Marie Cuisine pada 2006 ini berencana menyusun buku masak serta perlengkapan masak dengan brand bisnisnya.
Bagi entrepreneur cilik ini, passion yang begitu kuat telah menuntunnya pada kesuksesan dalam berbisnis. Untuk mengetahui perjalanan Lizzie dalam mengembangkan hobi menjadi bisnis serta mengenal sosoknya lebih lanjut, simak hasil percakapan remaja yang memiliki perusahaan Lizzie Marie Cuisine dengan Huffington Post berikut.
Usia berapa kamu mulai jatuh cinta pada dunia memasak?
Aku mulai memasak ketika berusia 2 tahun. Ibu dan nenek yang mengajari. Sejak kecil, ibu selalu membawaku ke dapur dan menjadikanku penyicip masakannya. Jika ia membuat sup atau apple sauce, aku akan membantu mengaduk masakannya dan terkadang menambahkan bumbu.
Lalu di usia 6 tahun, aku tertarik menunggang kuda. Aku meminta ijin orangtua untuk memperbolehkan ikut kursus menunggang kuda jika aku bisa membiayainya sendiri. Dan orangtuaku bertanya bagaimana cara aku bisa memeroleh uang tersebut kemudian aku menjawabnya dengan menjual homemade makanan nan sehat ke toko petani lokal. Aku melakukannya hingga satu setengah tahun dan mulai menyadari bahwa aku suka sekali memasak dan bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa healthy food dapat menjadi hidangan yang lezat dan menyenangkan.
Kapan kamu mulai menyadari hasil penjualanmu ternyata lebih dari sekadar uang untuk membiayai kursus menunggang kuda dan kemungkinan bisa menjadi peluang bisnis yang sesungguhnya?
Aku tidak pernah menyangka bisa membangun bisnis hanya dengan menjual apple dapple bread dan chocolate chip cookies di toko lokal. Ini lebih pada kepuasan telah melakukan sesuatu untuk mengejar passion yang kumiliki. Tapi ketika aku melihat banyak orang yang menyukai masakanku dan menyadari bahwa aku menikmati momen saat aku bangun pagi-pagi sekali untuk memasak dan melihat reaksi orang ketika mencicip masakanku, saat itulah aku ingin membawa hobi ini ke level selanjutnya. Lalu aku bertanya kepada ayah bagaimana cara membuat website. Dan kita membuat video pertama kemudian meng-upload-nya ke YouTube. Aku begitu gugup. Banyak yang mendukung dan ada juga yang berpikir bahwa anak seusiaku seharusnya tidak berada di dapur untuk memasak. Itulah pendapat orang. Tapi aku menyukai apa yang kulakukan dan hal itu menuntunku untuk melakukan hal-hal yang menakjubkan. Semua mengalir apa adanya dan menikmati kemana arus ini akan membawaku.
Bagaimana reaksi konsumen?
Banyak orang yang terkejut begitu tahu berapa usiaku, mereka tak menyangka anak berusia 6 tahun berada di dapur membuat roti dan kue. Saat mereka mencicip hasil masakanku, mereka lebih terkejut lagi karena rasanya enak dan bahannya ternyata juga sehat. Banyak juga yang ragu-ragu untuk mencicip karena resepku termasuk kreatif dan memakai bahan-bahan unik. Tapi ketika mencicipnya, mereka sadar bahwa makanan sehat tak harus disajikan dengan cara yang membosankan—makanan sehat juga bisa terasa “yummy” dan menarik.
Apakah bisnismu ini juga diinspirasikan dari program orangtua yakni combined 100-pound weight loss?
Ketika orangtua menurunkan berat badan mereka, aku berusia 2 atau 3 tahun, jadi aku tak begitu menyadarinya. Ayah memang mempunyai bisnis healthy-living dan saat beranjak besar lalu mengenal dunia bisnis yang digelutinya, aku sadar bisnisnya itu sangat inspiratif dan semakin memicu minatku akan makanan sehat. Aku berpikir bila orangtuaku bisa, orang lainpun pasti bisa.
Ayah sangat membantu dari sisi bisnis. Sementara aku dan ibu lebih banyak bertukar ide tentang bagaimana kita membuat resep yang bisa diketahui anak-anak secara reguler dan membuatnya dengan resep sehat dan terlihat menarik.
Kedua orangtua benar-benar sangat mendukung aku. Ketika aku menyukai tenis, mereka berusaha untuk menyakinkan aku telah berusaha keras untuk menjadi yang terbaik di dunia tenis. Begitu pula di bisnis makanan ini. Membangun bisnis memang sulit tak peduli berapa usia saat merintisnya. Kamu pasti membutuhkan nasihat dan orangtua adalah satu dari sekian banyak orang yang bisa memberikan saran terbaik. Tak perlu takut meminta pendapat mereka, resapi saja semua saran yang diberikan dan tunjukkan kepada mereka bahwa saran serta dukungannya sungguh berarti. Merekapun pada akhirnya bisa melihat apa yang kamu lakukan merupakan impian yang ingin diraih. Terbukalah dengan ide atau saran yang berguna untuk memulai bisnis dan lihatlah kemana hal tersebut akan membawamu.
Bagaimana kesempatan dari WebMD muncul?
WebMD yang datang padaku. Mereka berminat membuat web show yang cocok untuk dikonsumsi anak-anak, mengajarkan pola makan sehat menjadi hal yang menyenangkan dan mengajak anak untuk terjun ke dalamnya. Ini sangat menarik buatku karena chef pertama yang menurut mereka cocok untuk mengisi acara tersebut adalah Jamie Oliver. Tapi, ia berhalangan karena sedang mengerjakan Food Revolution. Dan orang kedua yang terpikir oleh mereka adalah aku dan itu membuatku sangat tersanjung. Bekerja sama dengan mereka (WebMD) sangat menyenangkan—Desember lalu mereka mengajakku ke New York selama seminggu untuk proses penyutingan. Meski terlihat santai tapi aku bekerja keras dalam proyek itu dan aku ingin melakukannya kembali.
Apakah itu terjadi ketika kamu menyadari bisa menjadi “the next Rachael Ray”?
Sangat menyenangkan menyaksikan acara dia (Rachael Ray) dan menurutku dia adalah chef hebat yang memiliki energi dan semangat tinggi serta terlihat sangat menyukai apa yang ia lakukan. Akupun ingin sekali memiliki kesempatan yang sama dengannya dan mempunyai acara talk show atau cooking show sendiri seperti dirinya suatu hari nanti. Dia adalah sosok yang sangat kukagumi dan aku ingin seperti dia.
Bagaimana rasanya bertemu dengan Rachael Ray di acaranya sebagai salah satu kontestan Kindness Challenge?
Aku sama sekali tidak gugup tapi begitu acara telah selesai dan sadar bahwa aku telah berada di panggung yang sama dengannya aku menjadi gugup. Tapi itu adalah pengalaman berharga dan sangat menyenangkan. Aku senang bisa berjabat tangan dengannya dan juga bangga karena aku adalah kontestan termuda. Ketika Rachael memperkenalkan diriku melalui putaran video dan menyebut namaku, aku sangat gembira dan berkata dalam hati, “Ya ampun, Rachael tahu namaku.”
Nasihat apa yang ia (Rachael Ray) berikan untukmu?
Ia berkata kepada kami (semua kontestan Kindness Challenge) untuk terus melakukan apa yang telah kami lakukan dan melakukan apa yang kami cintai. Dia juga berkata, jangan biarkan orang lain menyuruh apa yang seharusnya kita lakukan atau bagaimana seharusnya kita melakukannya. Karena jika melakukan sesuatu atas kehendak orang lain, kamu takkan bisa bahagia. Tapi jika melakukan sesuatu yang kamu sukai dan benar-benar memiliki passion dengan hal tersebut, segala hal yang menyenangkan akan terjadi.
Apa rencana bisnismu? Apa visimu?
Aku sedang menyusun buku masak untuk anak dan orang dewasa, sebab aku ingin mengajak anak-anak ke dapur untuk membantu memasak. Aku bekerja sama dengan perusahaan makanan yang cukup besar—tapi belum bisa menyebutnya sekarang—untuk membicarakan kemungkinan membuat brand, memiliki produk yang berbeda dan hal-hal semacam itu. Aku juga ingin membuat perlengkapan masak seperti halnya Rachael Ray. Akupun menyimpan sejumlah proyek menarik yang bisa membuat Lizzie Marie Cuisine tumbuh semakin besar.
Apakah kamu ingin berkecimpung dengan dunia ini hingga dewasa nanti atau ada hal lain yang ingin kamu lakukan kelak?
Aku masih belum tahu apakah akan terjun di dunia ini sepanjang hidupku tapi saat ini aku benar-benar sedang menikmatinya. Aku memiliki passion di bidang lain seperti sains forensik, membaca dan memanah. Aku juga belum tahu apakah nanti akan kuliah dan membuka restoran tapi bila memikirkan memiliki TV show sendiri dan membuat perlengkapan rumah tangga dengan nama Lizzie Marie Cuisine, itu adalah impian yang sangat indah. Aku tidak akan mengatakan saat berusia 20 tahun aku akan membuka resto atau mungkin juga akan meninggalkan Lizzie Marie Cuisine, sebab takkan ada yang tahu apa yang akan terjadi esok. Tapi selama ini aku memiliki pengalaman menakjubkan dengan Lizzie Marie Cuisine dan aku tertarik untuk melihat apa yang akan terjadi dengannya kelak.
Banyak entepreneur yang menemui sejumlah tantangan dalam menyeimbangkan kehidupan pribadi dengan bisnis, tak peduli berapapun usia mereka. Lalu apa rahasiamu untuk membuat keduanya seimbang?
Meski aku mempunyai bisnis yang sedang berjalan tapi perusahaanku belum begitu besar hingga membuat paparazzi tertarik olehnya. Yang terpenting, teman-teman sangat mendukung dan menurut mereka apa yang tengah kulakukan sangat menyenangkan. Mereka tetap memperlakukanku sama. Tapi kadang terasa lucu ketika sedang bercakap-cakap dan menanyakan kegiatan selama akhir pekan kebanyakan dari mereka menjawab bermain roller skating atau pergi belanja sementara aku mengisinya dengan shooting di CNN. Aku pernah memikirkan bahwa hidupku akan semakin sibuk seiring dengan semakin berkembangnya Lizzie Marie Cuisine. Tapi aku mengambil homeschool dan itu lebih fleksibel serta mudah mengatur waktu. Sekali lagi kukatakan, tanpa keluarga dan teman-teman, aku mungkin takkan memiliki Lizzie Marie Cuisine. Mereka semua membuatku mempunyai kehidupan yang normal dan membantuku tak mudah lupa diri, jadi aku tak merasa menjadi “anak 11 tahun yang terkenal karena memiliki bisnis sendiri”.
Ada nasihat untuk para entrepreneur cilik?
Lakukan saja apa yang kamu sukai, meski kamu tak yakin bisa melakukannya. Orang selalu menanyakan hal yang sama kepada anak-anak, “Apa yang akan kamu lakukan setelah dewasa?” Menurutku jangan menunggu hingga dewasa untuk melakukannya. Aku akan menjawabnya seperti ini, “Aku telah memiliki bisnis sendiri. Mudah-mudahan, saat dewasa aku telah memiliki TV show.” Hal terpenting adalah melakukan hal yang paling disukai. Jangan pernah takut untuk melakukan hal yang kamu sukai. (*/ely)
Wednesday, July 4, 2012
Hart Main, Si Pencipta Man Can
Ide bisnis bisa muncul kapan saja. Simak kisah yang dialami Hart Main,
penemu lilin kaleng yang aromanya khusus untuk pria. Dalam usia 13
tahun, Hart berhasil menciptakan Man Can, begitu lilin kaleng ciptaannya
dia namakan. Hart sudah mempunyai ide bisnis sejak kecil.
Man Cans yang dia ciptakannya memang untuk dijual. Aroma Man Cans disukai banyak orang. Mulai aroma kopi, serbuk gergaji, hingga rumput. Man Can dibuat dari kaleng sup yang didaur ulang. Kisah awal temuannya ini muncul ketika Hart melihat kakak perempuannya menjual lilin untuk pengumpulan dana sekolah. Namun sayang, menurut Hart, lilin-lilin yang dijual itu mempunyai aroma yang kebanyakan untuk wanita seperti aroma apel, kayu manis, lavender, dan kapas.
Menurut Hart, walaupun untuk menggalang dana sekolah, seharusnya lilin yang dijual bisa dinikmati semua orang. Pada saat itu, ide Hart dianggap hanya sebuah lelucon, namun orangtuanya tetap mendorong sehingga berhasil menciptakan Man Can.
Hart memulai bisnisnya dengan modal 100 dolar AS hasil jualan koran. Saat ini ada sejumlah aroma lilin Man Can yang dijual di pasaran, semuanya dijual dalam harga 9,5 dolar AS. Hart sekarang sedang mengenyam pendidikan SMA. Dengan produk yang dihasilkannya, Hart mampu membeli sejumlah keperluannya sendiri. (*/Koran Sindo)
Man Cans yang dia ciptakannya memang untuk dijual. Aroma Man Cans disukai banyak orang. Mulai aroma kopi, serbuk gergaji, hingga rumput. Man Can dibuat dari kaleng sup yang didaur ulang. Kisah awal temuannya ini muncul ketika Hart melihat kakak perempuannya menjual lilin untuk pengumpulan dana sekolah. Namun sayang, menurut Hart, lilin-lilin yang dijual itu mempunyai aroma yang kebanyakan untuk wanita seperti aroma apel, kayu manis, lavender, dan kapas.
Menurut Hart, walaupun untuk menggalang dana sekolah, seharusnya lilin yang dijual bisa dinikmati semua orang. Pada saat itu, ide Hart dianggap hanya sebuah lelucon, namun orangtuanya tetap mendorong sehingga berhasil menciptakan Man Can.
Hart memulai bisnisnya dengan modal 100 dolar AS hasil jualan koran. Saat ini ada sejumlah aroma lilin Man Can yang dijual di pasaran, semuanya dijual dalam harga 9,5 dolar AS. Hart sekarang sedang mengenyam pendidikan SMA. Dengan produk yang dihasilkannya, Hart mampu membeli sejumlah keperluannya sendiri. (*/Koran Sindo)
Subscribe to:
Posts (Atom)