Pengusaha Kopi Sekaligus Seniman Latte Art 3D
Sepasang tangan dengan cekatan mengambil peralatan yang dibutuhkan. Tangan kiri
memegang lap, tangan kanan menyiapkan sendok dan cangkir. Saling beradu dan
bekerja sama menggoreskan bentuk di atas dataran kopi panas dalam sebuah
cangkir.
Satu menit, sepasang mata pemilik tangan itu masih terlihat fokus. Gerakan
tangannya lincah. Keningnya berkerut. Dia lalu menuangkan segelas silky milk
yang sudah diubah dalam bentuk foam. Sekitar lima menit, bentuk 3D yang
diciptakan mulai tampak. Ada kucing, panda, dan Gunung Merapi.
Goresan tangan di atas secangkir kopi itu dikenal dengan latte art 3D.
Dilihat dari keahliannya, sangat mungkin kehidupan orang tersebut tidak
jauh-jauh dari kopi. Kalau tidak hobi minum kopi, ya punya usaha terkait kopi.
Yohan Suryanto menyandang keduanya.
Dimulai pada 2006, pria 33 tahun itu mendirikan sebuah perusahaan di bidang
jual beli produk smartphone. Kesibukan sering kali membuat Yohan
begadang sampai larut malam. ”Kalau lagi begadang, saya pasti butuh kopi,”
katanya.
Nyaris tidak ada hari yang dilewatkan Yohan tanpa minum kopi, seperti orang
kecanduan. Sampai suatu saat sekitar sepuluh tahun lalu, dia minum kopi apek.
Dari situ, Yohan mulai mencari tahu penyebab ada kopi yang tidak enak seperti
itu. Dia mulai belajar otodidak. Membaca berbagai literatur. ”Ternyata, kopi
itu unik. Satu daerah dengan daerah lainnya, satu peracik ke peracik lainnya,
itu menghasilkan minuman kopi yang berbeda-beda. Tidak pernah sama,” jelas pria
yang saat ini tinggal di kawasan Surabaya Barat tersebut.
Semakin banyak tahu, semakin besar pula rasa penasaran Yohan. Tidak cukup
puas menjajal berbagai jenis minuman kopi, dia mulai belajar latte art.
Metode itu menggunakan silky milk dalam foam untuk dibentuk
sebuah hiasan di atas minuman kopi. Berdasar bentuknya, latte art dapat
dibagi menjadi 2D dan 3D.
Pada dasarnya, terang Yohan, latte art 3D terbentuk dari hasil
tambahan foam susu di atas bentuk dua dimensi. Suami Ineke Erwin
Setiawati itu mengungkapkan, tidak ada teknik khusus yang digunakan dalam latte
art. Bentuk-bentuk tersebut merupakan hasil kreativitas masing-masing.
”Bebas berkreasi apa pun. Tidak ada teori khusus untuk membentuk sesuatu di latte
art,” ujar anak kedua di antara tiga bersaudara tersebut.
Ilmu kopi juga didapat Yohan dari menjelajah ke banyak tempat. Dia
berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya di Indonesia. Juga dari satu
negara ke negara lainnya. Selain itu, Yohan mulai mendalami dunia kopi di luar
negeri. Dia berkeliling Asia, Eropa, dan Amerika. ”Saya tidak sekolah khusus.
Tapi, saya sering belajar dari roaster di masing-masing negara yang
pernah saya disinggahi,” kata ayah tiga anak itu.
Diskusi dengan roaster (peracik kopi profesional) itulah yang
memperdalam ilmu Yohan di dunia kopi, termasuk latte art. Hingga saat
ini dia juga masih sering keep in touch dengan para gurunya itu. Kalau
tidak sempat berkunjung, Yohan menyempatkan waktu untuk berdiskusi melalui
dunia maya. Hal tersebut hingga saat ini rutin dilakukannya.
Yohan menerangkan, ada tiga tingkat profesi terkait dengan peracik kopi.
Pertama disebut barista, yakni orang di balik bar yang mampu meracik
sajian kopi sesuai dengan profesinya. Di atas barista, terdapat primo
atau senior barista. Primo adalah orang yang lebih menguasai dan
mengatur alat-alat yang digunakan untuk meracik sajian kopi.
Di atas primo, ada roaster. Seorang roaster harus
mengerti cara mengolah biji kopi menjadi bentuk bubuk. Sebagian besar roaster
mampu membuat latte art. Baik dua dimensi maupun tiga dimensi. Yohan
mampu membedakan kopi secara detail. Dari mencium saja, dia bisa menjelaskan
asal daerah, kadar air, maupun jenis biji kopi yang digunakan.
Dua tahun lalu bisnis jual beli yang ditekuni Yohan terpuruk. Dia berusaha
melirik usaha di bidang lain. Hingga pikirannya jatuh untuk berbisnis kopi
saja. ”Saya suka kopi. Kenapa tidak membuat bisnis yang sesuai dengan hobi,”
ungkap laki-laki yang mengidolakan roaster asal Taiwan Yu Chuan Jacky
itu.
Bisnis kopinya ternyata mulai berkembang sejalan dengan kebangkitan bisnis
produk smartphone-nya. Yohan pun berusaha menyeimbangkan dua usaha itu
agar sama-sama selalu menunjukkan progres. Kafe Yohan didirikan di dekat
rumahnya di Surabaya Barat. Di sana dia dapat mengeksplorasi kemampuan
menyajikan kopi. Hanya, hingga saat ini Yohan belum menjual minuman kopi dengan
latte art 3D.
Menurut dia, foam susu yang digunakan untuk membuat latte art itu
harus tersaji dalam suhu kurang lebih 60 derajat Celsius. Kalau lebih atau
kurang, rasa manis susu akan hilang. Kopinya harus disajikan dalam suhu 90
derajat Celsius. ”Menjaga suhu itu yang susah. Maka, saya tidak menjual sajian
kopi dengan latte art 3D,” papar alumnus SMAN 1 Pasuruan tersebut.
Bagi orang awam, standar itu mungkin tidak penting. Namun, Yohan termasuk
orang yang perfeksionis. Dia ingin segala sesuatu, terutama terkait kopi, harus
sesuai standar internasional. Apalagi, menurut dia, bagi pencinta kopi, standar
itu sangat penting. ”Di dunia kopi tidak ada yang salah. Lain kopi, lain
masakan. Lain lidah, lain selera. Perbedaannya hanya terdapat di profil
roasting,” ungkap Yohan.
Dia punya prinsip, ilmu yang dimiliki harus dikembangkan. Caranya berbagi
dengan orang lain. Di kafenya, Yohan membuka kelas privat bagi siapa pun yang
ingin belajar segala hal tentang kopi. Ada tiga modul yang disampaikan dalam
kelas. Mulai dasar, menengah, hingga susah. Setiap modul dapat diselesaikan
selama dua hari. Setiap pertemuan membutuhkan waktu empat jam. ”Muridnya bebas.
Yang penting, minimal lima orang untuk mulai buka kelas,” katanya.
Sudah memiliki usaha sesuai hobi, Yohan masih memiliki misi lain. Yakni,
”mengopikan” Surabaya. ”Saya ingin mayoritas warga Surabaya memiliki budaya
minum kopi. Ini merupakan salah satu usaha melestarikan kekayaan bangsa.
Indonesia kan salah satu negara penghasil kopi terbesar dunia,” ujar
Yohan.