Meski masih muda, Lovetta Conto
mampu membuat perhiasan yang disukai para artis Hollywood, seperti
Angelina Jolie dan Halle Berry. Padahal, remaja berusia 17 tahun itu
bukanlah penggemar produk fesyen Hollywood.
Kehidupannya pun jauh dari glamor dan pengaruh Hollywood. Conto justru tumbuh besar di kamp pengungsi Ghana. Pengalaman pahit hidup di masa perang sipil di Liberia, menginspirasi Conto membuat perhiasan dari selongsong peluru.
Peluru-peluru itu juga dikumpulkannya pada masa perang sipil. Gadis remaja yang dilahirkan di Liberia, sebuah negara di Pantai Timur Afrika itu terpisah dari ibunya pada usia 18 bulan. Sementara itu, ayahnya melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari perang sipil .Ketika berusia lima tahun, dia mulai membuat kerajinan peluru itu di kamp pengungsi di Ghana. Kreativitas itu terus digelutinya selama sembilan tahun kemudian. Ketika itu, dia tinggal bersama 47.000 pengungsi lainnya. “Saya mengungsi ke Ghana dan meninggalkan ibu saya. Kami berpikir kita lebih merasa aman di Ghana karena negara kita sedang porak-poranda,” papar Conto kepada CNN.
“Saya merasa sendiri karena saya berada di negara lain di mana saya tidak disambut baik. Saya selalu ingin kembali ke negara saya.Namun,Anda tidak memiliki pilihan lain karena negara Anda berada dalam kondisi perang sipil,” paparnya.
Conto mengungkapkan, ayahnya meninggalkannya bersama keluarganya untuk bekerja agar bisa membiayai sekolah anak-anaknya. “Tapi, saya tidak mampu bersekolah karena ayah tak dapat membiayai ongkos sekolah. Akhirnya, saya hanya tinggal di rumah,” bebernya.
Hingga pada tahun 2005, seorang warga Amerika Cori Stern mengunjungi kamp pengungsian. Stern merupakan pendiri Strongheart Fellowship, sebuah organisasi yang berdedikasi membantu anak-anak muda yang menjadi korban konflik. Ketika bertemu dengan Stern, Conto berusia 12 tahun. Saat itu, Stern pun berpikir bagaimana agar bisa membuat Conto keluar dari kamp pengungsi.
Stern membantu Conto mendapatkan visa Amerika Serikat (AS). Setelah mendapat visa Amerika Serikat (AS), pada usia 14 tahun, Conto meninggalkan ayahnya di Ghana menuju AS. “Strongheart mengajarkan saya dapat melakukan apapun, jika saya mampu berpikir dan menjadi apapun yang saya inginkan,” ujarnya. “
Strongheart juga mengajarkan saya untuk mengekspresikan perasaan saya dan bagaimana mendapatkan sesuatu yang baik dalam kehidupan ini,”ungkapnya. Sejak saat itu, Conto pun bercita- cita ingin menjadi desainer pakaian. Cita-cita itu diwujudkan dengan membuat perhiasan sebagai bentuk proyek Strongheart. Proyek itu dikaitkan sebagai bentuk refleksi tentang apa yang terjadi dalam kehidupan di sekitar Conto, termasuk kreativitasnya membuat perhiasan dari peluru selama perang sipil Liberia.
“Saya ingin menjaga memori semua orang tetap hidup semua yang saya lakukan ini untuk membantu korban perang, terutama anak-anak yang ditinggal orang tuanya,”tandasnya.
Kehidupannya pun jauh dari glamor dan pengaruh Hollywood. Conto justru tumbuh besar di kamp pengungsi Ghana. Pengalaman pahit hidup di masa perang sipil di Liberia, menginspirasi Conto membuat perhiasan dari selongsong peluru.
Peluru-peluru itu juga dikumpulkannya pada masa perang sipil. Gadis remaja yang dilahirkan di Liberia, sebuah negara di Pantai Timur Afrika itu terpisah dari ibunya pada usia 18 bulan. Sementara itu, ayahnya melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari perang sipil .Ketika berusia lima tahun, dia mulai membuat kerajinan peluru itu di kamp pengungsi di Ghana. Kreativitas itu terus digelutinya selama sembilan tahun kemudian. Ketika itu, dia tinggal bersama 47.000 pengungsi lainnya. “Saya mengungsi ke Ghana dan meninggalkan ibu saya. Kami berpikir kita lebih merasa aman di Ghana karena negara kita sedang porak-poranda,” papar Conto kepada CNN.
“Saya merasa sendiri karena saya berada di negara lain di mana saya tidak disambut baik. Saya selalu ingin kembali ke negara saya.Namun,Anda tidak memiliki pilihan lain karena negara Anda berada dalam kondisi perang sipil,” paparnya.
Conto mengungkapkan, ayahnya meninggalkannya bersama keluarganya untuk bekerja agar bisa membiayai sekolah anak-anaknya. “Tapi, saya tidak mampu bersekolah karena ayah tak dapat membiayai ongkos sekolah. Akhirnya, saya hanya tinggal di rumah,” bebernya.
Hingga pada tahun 2005, seorang warga Amerika Cori Stern mengunjungi kamp pengungsian. Stern merupakan pendiri Strongheart Fellowship, sebuah organisasi yang berdedikasi membantu anak-anak muda yang menjadi korban konflik. Ketika bertemu dengan Stern, Conto berusia 12 tahun. Saat itu, Stern pun berpikir bagaimana agar bisa membuat Conto keluar dari kamp pengungsi.
Stern membantu Conto mendapatkan visa Amerika Serikat (AS). Setelah mendapat visa Amerika Serikat (AS), pada usia 14 tahun, Conto meninggalkan ayahnya di Ghana menuju AS. “Strongheart mengajarkan saya dapat melakukan apapun, jika saya mampu berpikir dan menjadi apapun yang saya inginkan,” ujarnya. “
Strongheart juga mengajarkan saya untuk mengekspresikan perasaan saya dan bagaimana mendapatkan sesuatu yang baik dalam kehidupan ini,”ungkapnya. Sejak saat itu, Conto pun bercita- cita ingin menjadi desainer pakaian. Cita-cita itu diwujudkan dengan membuat perhiasan sebagai bentuk proyek Strongheart. Proyek itu dikaitkan sebagai bentuk refleksi tentang apa yang terjadi dalam kehidupan di sekitar Conto, termasuk kreativitasnya membuat perhiasan dari peluru selama perang sipil Liberia.
“Saya ingin menjaga memori semua orang tetap hidup semua yang saya lakukan ini untuk membantu korban perang, terutama anak-anak yang ditinggal orang tuanya,”tandasnya.
Desain-desain perhiasannya pun
sarat makna. Salah satunya adalah perhiasan bertuliskan “life” yang
berarti kehidupan baru muncul meski dari situasi yang sulit. Selain itu,
Conto juga menciptakan desain perhiasan dari peluru bertuliskan
“Akawelle” yang artinya “semua mengenal cinta”. “Suatu hari, saya ingin
mendesain pakaian atau membuat orang tampil lebih cantik,” ungkapnya.
(CNN)